Namun, tetap saja menjelang arus mudik dan arus balik, harga tiket melambung. Bahkan, muncul kritik harga tiket pesawat melambung seratus persen dari kondisi normal. Jadi, itu sebenarnya juga tuslah alias penambahan tarif.Â
Kritik di balik mudik
Selalu ada kritik di balik mudik. Teranyar datang dari politikus Gerindra, Habiburokhman. Entah ia memang menyuarakan hati murni sebagai pemudik, entah momentum ini digunakannya sebagai oposisi untuk melontarkan kritik. Ramai media mengutip komentarnya bahwa mudik tahun ini seperti neraka, terutama di Merak karena sang politikus mudik melalui jalur darat ke Lampung.
Diksi "neraka" yang dipilih Habiburokhman mungkin dianggap beberapa pihak, terutama pemerintah termasuk lebay alias berlebihan. Tentu saja bukan karena sang politikus pernah merasakan neraka. Dalam konteks gaya bahasa, ada beberapa tipe diksi untuk menyindir, yaitu ironi, sinisme, dan sarkasme. Gaya yang dipilih Habiburokhman adalah sarkasme karena sifatnya mengandung kepahitan dan celaan yang getir.
Jangan baper dulu soal ini. Dalam lalu lintas, istilah "jalur neraka" dan "jalur tengkorak" itu sudah jamak digunakan. Media lah yang memopulerkannya. Istilah "jalur neraka" digunakan untuk menunjukkan kondisi jalan atau jalur yang berpotensi menimbulkan kemacetan parah (terhambat berjam-jam dan panjangnya berkilo-kilometer), sedangkan istilah "jalur tengkorak" menunjukkan kondisi jalan yang sering menyebabkan kecelakaan maut. Jadi, Bang Habirurrokhman hanya mengungkapkan isi pikiran dan hatinya tentang kemacetan parah di Merak dengan tambahan diksi mobilnya nyangkut.
***
Diksi itu termasuk seni dan keterampilan memilih sekaligus menggunakan kata-kata. Dalam komposisi sebuah tulisan, diksi akan membantu ---meminjam istilah Gorys Keraf--- mewujudkan kepaduan dan keharmonisan estetis sekaligus kepaduan dan keharmonisan intelektual (logis) pada tulisan. Karena itu, kecermatan menggunakan diksi menjadi salah satu kompetensi para penulis profesional.
Dari sebuah peristiwa, seperti lebaran, mudik, atau perhelatan akbar Piala Dunia saat ini, kita dapat mencermati diksi yang digunakan seorang penulis untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaannya. Banyak penulis yang piawai, tetapi tidak sedikit pula penulis yang gagap dan tergelincir menggunakan diksi. Alih-alih hendak menguatkan suatu makna, ia malah merusakkan makna karena salah memilih kata-kata.
Tulisan ini mungkin terasa kurang nyambung, tetapi paling tidak saya sedang berusaha menyambungkan silaturahmi kepada Kompasianer daripada tidak ada yang dituliskan. Jadi, selamat menggunakan diksi dengan baik dan benar.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H