Sekali waktu kita perlu membaca kembali buku-buku masa lalu yang ditulis para cendekiawan terdahulu. Kita akan ternganga dengan kedalaman berpikir dan kearifan yang ditanamkan mereka melalui goresan pena. Mereka benar-benar membangun sebuah kubu.
Namun, sayangnya buku-buku itu terkadang sudah tidak terbit lagi, bahkan menghilang dari peredaran, lalu dilupakan zaman. Karena itu, pemerintah tampaknya perlu memelopori kembali upaya penerbitan ulang karya-karya para cendekiawan terdahulu yang masih relevan untuk pendidikan masa kini.Â
Benar kini banyak penulis baru yang lahir, termasuk cendekiawan-cendekiawan baru. Namun, buku-buku karya cendekiawan terdahulu penting untuk dijadikan rujukan dan bahan perbandingan. Kita dapat menyambungkan kembali mata rantai yang hilang dari karya-karya bermutu pada masa lalu itu dan saat ini.
Perbukuan dan perkubuan memang dua hal yang berbeda seperti sebuah enagram, tetapi bukan sebuah oksimoron. Perbukuan adalah tentang buku dan perkubuan adalah tentang kelompok-kelompok atau faksi-faksi yang terus saja menciptakan perbedaan. Saya tetap setuju dengan ungkapan Jeihan dan Mochtar Lubis untuk menjadikan buku sebagai senjata dan kubu (benteng pertahanan). Saya menentang buku dijadikan alat untuk melumpuhkan kekuatan sejati kita yaitu akal budi.
Selamat ber-Hari Buku. Pilihlah buku-buku baik yang memiliki daya gugah, daya ubah, dan daya pikat untuk kehidupan kita yang lebih baik.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H