Ada yang istimewa pada hari pertama Ramadan tahun ini, 2018. Pas bertepatan dengan Hari Buku Nasional, 17 Mei. Pada hari ini diperingati juga sebagai hari lahir asosiasi perbukuan tertua di Indonesia yaitu Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dan hari lahir Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Klop sudah jika membincangkan kembali soal buku pada hari ini.
Lalu, apa kabar dunia perbukuan kita?
Dunia perbukuan kita bergerak dinamis, baik lingkup nasional maupun internasional. Para penulis baru lahir mengusung karya-karya laris pada zamannya, para penulis senior tetap berkarya. Puluhan ribu buku dihasilkan setiap tahun, baik melalui saluran penerbit konvensional maupun saluran penerbitan mandiri (self-publishing).
Berbagai event perbukuan internasional diikuti Indonesia, termasuk yang terakhir menjadi tamu kehormatan di Kuala Lumpur Internasional Book Fair. Tahun depan, Indonesia bersiap pula menjadi Market Focus di ajang London Book Fair 2019.
Tahun lalu, 2017, DPR dan Pemerintah juga telah mengesahkan Undang-Undang tentang Sistem Perbukuan. Hingga saat ini, Rancangan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU tersebut juga tengah digodok. Jadi, tampak sekali dukungan serius pemerintah terhadap pembangunan perbukuan nasional di tengah isu rendahnya minat membaca masyrakat dan jebloknya peringkat daya literasi kita.
Namun, memang tidak semuanya persoalan perbukuan kita telah tuntas. Lagu lama masih akan terdengar sumbang terkait banyak hal: harga kertas yang tinggi, pajak perbukuan, mutu buku, pembinaan para pelaku perbukuan, dan banyak lagi. Kehadiran Negara yang sesungguhnya masih diharapkan melalui politik perbukuan. Bukan sebaliknya, perpolitikan buku.Â
Buku Bukan Lagi untuk Bertahan dan Menyerang
Buku adalah kubu, kalimat itu saya petik dari ucapan Pelukis Jeihan saat beliau diminta mengomentari soal buku. Makna 'kubu' di situ adalah tempat bertahan atau benteng pertahanan. Jeihan menyebutkan fungsi buku sebagai alat bertahan dari serbuan musuh. Saya kira utamanya adalah kebodohan dan saat ini adalah bertahan dari kebencian serta kebohongan.
Lebih lengkap lagi yang diungkapkan Mochtar Lubis tentang buku: Senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, adalah buku.
Eksistensi buku sejatinya masihlah kuat di tengah masyarakat. Namun, serbuan gelombang informasi sampah lebih hebat dan kuat lagi. Alhasil, kearifan buku banyak dilepaskan, lalu dilupakan. Masyarakat lebih sering dan lebih banyak menyerap informasi ringkas-ringkas dan copy paste melalui media sosial dan melupakan kedalaman berpikir sebagai pagar betis sebuah kubu pengetahuan.Â
Menjelang 2019, "kubu-kubu" di Indonesia dibangun bukan lagi sebagai benteng pertahanan, melainkan sebagai kelompok yang saling membenci. Di antara para kubu itu, mereka ada yang menulis buku dan sebagian besar membaca buku. Buku-buku tentang perkubuan yang disisipi amanat untuk menang dan mengalahkan. Buku (baca: konten dan kearifannya) tak lagi dijadikan kubu sebagai tempat menyerang dan bertahan sebagai bangsa, tetapi sudah terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling mengejek dan menghina.
Alih-alih untuk bertahan dan menyerang kepandiran, buku-buku malah diidekan untuk menceraiberaikan persatuan dan itu sangat mungkin dilakukan. Kita kemudian menjadi kelompok-kelompok yang rapuh, serapuh buku yang dimakan rayap.