Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tentang Pengaruh Indonesia yang Meredup di Asia

13 Mei 2018   10:59 Diperbarui: 13 Mei 2018   14:23 2440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi saat menghadiri the 7th Asian Leadership Conference| Dokumentasi Sekretariat Kabinet

Beberapa hari ini, peristiwa politik di Malaysia sangat menyita perhatian kita, termasuk masyarakat dunia. Kekuatan perubahan yang digerakkan rakyat tak mampu dibendung penguasa sebelumnya.

Dr. M alias Mahathir kembali tampil di panggung politik Malaysia dalam usia 92 tahun dengan membawa gerbong oposisi yang sebelumnya selalu kalah dari Barisan Nasional. 

Sebelumnya, saya termasuk yang berpendapat bahwa rakyat Malaysia tak cukup kuat dan berani melakukan perubahan. Impor "reformasi" dari Indonesia kurang berhasil. Ternyata hanya perlu satu Mahathir untuk membalikkan keadaan.

Beberapa pihak mengaitkan kemenangan ini sebagai inspirasi bagi Indonesia. Sebagai inspirasi, saya rasa betul karena ini sebuah "anomali" atau bahkan menegaskan jargon politik: tidak ada lawan dan kawan yang abadi. 

Namun, sebagai sebuah persamaan garis lurus yang dapat ditarik ke Indonesia, belum tentu. Indonesia berbeda dengan Malaysia dalam banyak hal, termasuk tokoh-tokoh politiknya.

Lucu saja negara yang memiliki pewaris politik mumpuni dan kader-kader politikus yang brilian, justru menjadi merasa "inferior" di hadapan Malaysia hanya karena pesona kemenangan Mahathir. Dalam beberapa hal kita memang sudah kalah dari Malaysia (salah satunya tentang pengaruh di pentas dunja), tetapi kita masih memiliki kemenangan dalam banyak hal.

Sumber: Lowy Institute
Sumber: Lowy Institute
Hari ini saya menulis juga dengan kegundahan dan kesedihan. Tiga gereja diledakkan di Surabaya dalam tempo nyaris bersamaan. Beberapa orang termasuk anak-anak menjadi korban.

Belum lepas dari ingatan kerusuhan di Mako Brimob oleh napi teroris. Kini berita kekerasan teror kembali melukai Indonesia.

Apa hubungannya dengan meredupnya pengaruh Indonesia? Adalah Lowy Institute, sebuah lembaga kajian terkemuka di Australia yang merilis Asia Power Index 2018.

Indonesia menempati peringkat ke-10 negara paling berpengaruh di Asia Pasifik dari 25 negara. Kita kalah dari Malaysia yang ada di peringkat ke-9 dan Singapura di peringkat ke-8.

Lima besar negara berturut-turut adalah Amerika Serikat, China, Jepang, India, dan Rusia.

Menarik mengutip pendapat Prof. Ariel Heryanto yang menjadi akademisi di Monash University. Ia menyatakan tidak kaget sebab sejak 1970 hingga kini para politikus Indonesia dan masyarakat umum sibuk dengan masalah-masalah dalam negeri.

Kita di Indonesia menurutnya lagi, tidak tertarik menjadi pemain besar di tingkat global. Tidak seperti era Bung Karno.

Energi kita terkuras untuk menjaga persatuan dan menghindari perpecahan karena kemajemukan luar biasa ini. Fenomena ini mungkin yang mengilhami P.W. Singer menyebutkan Indonesia sudah bubar pada 2030 dalam novel Ghost Fleet.

Benarlah sampai hari ini pun kita masih jungkir balik menghadapi perpecahan yang terkadang dipicu hal-hal sepele seperti tulisan di t-shirt atau hoaks di medsos. Mendekat 2019, benih-benih permusuhan makin rajin disemai pihak-pihak tertentu.

Dalam benak tersirat mungkin ini agenda atau skenario tingkat tinggi yang memang hendak meredupkan pengaruh negara besar ini. Indonesia terlalu berbahaya jika menguasai percaturan dunia.

Cara paling ampuh adalah menggunakan politik pecah belah seperti dilakukan Belanda lebih empat abad yang lalu. Sejak 2014, ibarat luka, sobekan persatuan makin menganga seperti tak mampu lagi dijahit atau ditenun dengan kata kebangsaan.

Maka dari itu, sampai hari ini kita masih melihat terkurasnya energi anak bangsa. Sisi lain luka dijahit, sisi yang satu kembali robek. Jelas, ada yang salah dengan bangsa ini ketika semua merasa yang paling benar.

Dalam kajian Lowy Institute, pada tren masa depan (future trend) yaitu 2030 (lagi-lagi tahun 2030) Indonesia bakal menjadi yang terunggul di ASEAN, bahkan nomor 4 di Asia Pasifik--berdasarkan perhitungan kekuatan ekonomi, demografi, dan militer. Namun, mungkinkah itu tercapai jika kita masih "asyik" bertengkar berebut pengaruh di rumah sendiri?

***

Pengaruh Indonesia di pentas dunia menjadi sayup-sayup... Emang gue pikirin, kata Mang Obet, tukang ojek online. Esok ia katanya libur ngojek karena akan ikut demo, lumayan ada uang transport dan jatah makan siang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun