Kalau pesepak bola cedera atau sudah merasa semakin tua, ia akan mengumumkan "gantung sepatu". Begitu juga kalau pebulu tangkis mengalami cedera dan makin berumur, ia akan "gantung raket". Namun, mengapa tidak ada istilah "gantung pena" bagi para penulis yang hendak berhenti menulis.
Alasannya sederhana. Pertama, sekarang hampir tidak ada penulis yang menulis dengan pena. Jika pun ada, itu pasti karena mereka merasa menulis dengan pena di tangan itu lebih mudah mengekspresikan pikirannya. Nah, jangankan pena, mesin tik saja sudah hampir tidak ada yang menggunakannya untuk menulis, kecuali penulis "zaman old". Lalu, dapatkah diganti dengan istilah "gantung laptop"? Tidak juga.
Kedua, penulis itu jarang-jarang ada yang mengalami cedera tangan saat menulis, kecuali mungkin penurunan kesehatan karena terlalu banyak duduk dan banyak merokok atau meminum kopi--kaum perokok dan peminum kopi berat pasti akan protes. Jadi, memang tidak ada alasan berhenti menulis karena kesehatan. Bahkan, dalam keadaan sakit parah di tempat tidur, banyak penulis yang masih berusaha untuk menulis.
Ketiga, menulis itu adalah aktivitas yang tak kenal masa pensiun serta umumnya tidak memerlukan waktu, ruang, atau alat khusus untuk melakukannya. Usia berapa pun, orang yang mampu baca-tulis, dapat menulis. Di mana pun dan kapan pun, banyak penulis yang mampu menulis tanpa harus ada "ritual-ritual" tertentu.
Jadi, belum pernah kita dengar ada penulis yang mengumumkan bahwa ia "gantung pena" alias akan berhenti menulis. Kalaupun ada, itu pernah dilakukan Tere Liye gara-gara kesal soal pajak penulis yang menggerogoti royaltinya. Namun, ia mengumumkan akan berhenti menulis dan menerbitkan buku melalui saluran penerbit mayor, bukan berhenti menulis atau berkarya. Ia tetap menulis meskipun dengan saluran media lain seperti Facebook. Nah, bagaimana jika Facebook ditutup? Masih ada jalan lain ke Roma.Â
Penulis-penulis pesohor lain juga tidak pernah menyatakan berhenti menulis, bahkan tidak akan pernah terjadi kecuali ada force majeure atau listrik tiba-tiba mati dan laptopnya kehabisan daya baterai. Berbeda lagi penulis "zaman now" yang tidak dapat melanjutkan tulisan ketika tidak ada wifi atau kuota internetnya habis--soalnya ia sangat bergantung pada Google.
Namun, semestinya jika pun tidak ada laptop atau komputer, alat tulis tradisional masih dapat digunakan untuk menulis. Jika tidak ada wifi atau kuota internet, ya tetap saja semestinya dapat menulis menggunakan referensi lain. Disimpan saja dulu, baru nanti diposkan di Kompasiana.
Begitulah karena menulis itu membuat hidup menjadi lebih hidup. Mereka yang sudah terbiasa menulis dan tulisan-tulisan mengalir di urat nadinya akan merasa ada sesuatu yang hilang ketika ia tidak menulis.
Kalaupun ada penulis yang seperti tersendat-sendat berkarya, ia hanya akan disebut tidak produktif lagi. Memang ada fase-fase seorang penulis begitu produktif, lalu menurun. Seorang Achdiat K. Mihardja yang dikenal sebagai penulis novel Atheis, dalam usia uzur lebih dari 90 tahun, tetap menulis sampai ajal menjemputnya. Karya terakhirnya adalah novel Manifesto Khalifatullah yang terbit tahun 2006 (Aki Achdiat wafat tahun 2010).
Di Kompasiana, saya salut dengan Bapak Tjiptadinata Effendi yang juga sudah sangat senior, tetapi tetap rutin menulis dan terus menulis. Produktivitas beliau patut ditiru, apalagi topik tulisannya beraneka yang menandakan luasnya pengalaman beliau. Di sisi lain, ada juga yang punya akun di Kompasiana, hanya menulis pertama dan terakhir, bahkan ada juga yang tidak menulis-menulis. Itu namanya "gantung nama pena".
Jadi, Anda kapan akan "gantung pena" atau "gantung laptop"? Semoga tidak terjadi setelah Anda merasakannya nikmatnya berada di dunia tulis-menulis meskipun Anda belum kaya dari menulis. Jangan sekadar menulis karena uang, tetapi menulislah yang dapat mendatangkan uang. Lho? Ya, dijamin Anda tidak akan gantung celana, eh pena. []