Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ada Hak Cipta Turunan di Balik Buku

19 Maret 2018   08:33 Diperbarui: 19 Maret 2018   10:58 4229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Aaron Burden on Unsplash

Pernah dengar istilah ‘alih wahana’? Baru-baru ini sastrawan kawakan, Sapardi Djoko Damono, menerbitkan buku nonfiksi berjudul Alih Wahana (Gramedia). Di dalam buku tersebut dijelaskan tentang istilah ‘alih wahana’ berikut ini.

Alih wahana artinya pengubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Wahana berarti kendaraan, jadi alih wahana adalah proses pengalihan dari satu jenis ‘kendaraan’ ke jenis ‘kendaraan’ lain. Sebagai ‘kendaraan’, suatu karya seni merupakan alat yang bisa mengalihkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain. Dalam arti yang lebih luas, istilah ini bahkan juga bisa mencakup pengubahan dari berbagai jenis ilmu pengetahuan menjadi karya seni.

Pendeknya, alih wahana adalah pengubahan suatu bentuk karya menjadi karya lain. Hal ini berkonsekuensi pada munculnya hak cipta turunan (subsidiary right) pada suatu karya—tidak terbatas hanya fiksi, tetapi juga nonfiksi. Di dalam UU Hak Cipta Nomor 28/2014 (UHHC), proses ini disebut transformasi ciptaan.

Banyak contoh yang sudah terjadi. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dialihkan ke dalam bentuk film, lalu dialihkan lagi dalam bentuk pertunjukan drama musikal. Game populer Angry Bird juga dialihkan ke dalam bentuk film animasi, lalu karakternya juga dijual dalam bentuk merchandise.

Saya pernah mendapatkan penawaran dari sebuah agensi untuk mengakuisisi karakter Angry Bird dalam bentuk buku terbitan Indonesia. Nilai akuisisi sebagai advance fee lebih dari Rp 500 juta ditambah dengan royalti 7% per tahun. Bahkan, advance fee itu sifatnya "hangus".

Wuih, betapa mahalnya memang sebuah karya cipta kelas dunia itu meskipun itu karya cipta turunan. Kita di Indonesia belum memiliki “karakter” kuat dari suatu produk yang mendunia.

Karya lain yang perlu disebutkan adalah karya Sapardi Djoko Damono. Puisi “Hujan Bulan Juni” kemudian dialihwahanakan menjadi film, lagu (musik), dan akhirnya novel. Bayangkan hanya dari satu puisi dapat melahirkan beberapa karya turunan. Demikianlah sebuah karya sangat mungkin beranak pinak menjadi karya seni lainnya.

Hak Cipta Turunan di Dalam Naskah

Saya memfokuskan tulisan ini pada karya primer berupa karya tulis (naskah). Di dalam setiap karya cipta terkandung dua hak yaitu hak moral dan hak ekonomi. Tentang apa pengertian hak moral dan hak ekonomi, Anda dapat membaca detailnya di UUHC.

Hak yang dialihkan penulis kepada penerbit adalah hak ekonomi. Di dalam hak ekonomi sebuah karya tulis terkandung di antaranya hak untuk penerbitan, penggandaan ciptaan dengan segala bentuknya, penerjemahan, pentransformasian (alih wahana), pendistribusian, dan pertunjukan (UUHC; Pasal 9).

Di sini perlunya letak kejelian Anda sebagai pemegang hak cipta. Ketika melakukan perjanjian lisensi (perjanjian tertulis pengalihan hak cipta) dengan penerbit, Anda harus memastikan hak ekonomi yang mana yang Anda serahkan. Apakah seluruh hak ekonomi atau hanya satu hak?

Contohnya, untuk suatu naskah novel, Anda berhak hanya menyerahkan hak ekonomi berupa penerbitan, penggandaan, dan pendistribusian novel dalam bahasa Indonesia. Namun, untuk penerjemahan ke bahasa asing tetap berada di tangan Anda. Begitu pula hak untuk memfilmkan novel tersebut.  

Hal yang sering terjadi karena sama-sama tidak mengetahui tentang adanya hak cipta turunan ini (ada juga yang seperti kura-kura di dalam perahu), penulis pun mengalihkan semuanya dan memberi penerbit hak secara eksklusif. 

Saat novel itu akan difilmkan, penerbitlah yang akhirnya memiliki kuasa untuk bernegosiasi dengan pihak produser. Begitupun saat dilakukannya perjanjian penerjemahan karya dengan penerbit asing.

Pemahaman soal hak cipta turunan ini semata-mata agar penulis paham dengan potensi karyanya dan ia pun mendapatkan haknya secara adil. Boleh jadi penulis hanya dapat gigit jari ketika karya transformasinya dalam bentuk film meraih box office. Sementara itu, hanya namanya (sebagai hak moral) tercantum dalam kredit film seperti “diangkat dari novel laris karya ….”, tetapi dalam soal royalti atau honor, ia memperoleh alakadarnya.

Tentu ia tidak dapat menuntut lebih karena sudah telanjur menyerahkan keseluruhan hak ekonomi karyanya dengan perjanjian lisensi yang memiliki kekuatan hukum. Karena itu, jangan pernah memandang remeh karya cipta sendiri. Tidak ada yang dapat memprediksi jika karya itu akan meledak dan berpotensi dialihwahanakan pada bentuk lain.

Beberapa Contoh Hak Cipta Turunan

Demi mempermudah Anda sebagai penulis, berikut saya sebutkan saja kemungkinan-kemungkinan alih wahana dari suatu buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Berikut ini wujud karya baru yang juga memiliki hak cipta (hak moral dan hak ekonomi):

  1. buku terjemahan;
  2. film layar lebar;
  3. sinetron atau serial TV;
  4. film animasi;
  5. pertunjukan teater/drama;
  6. permainan digital (game);
  7. permainan papan (board game); dan
  8. lagu (musik).

Jika novel Anda mengandung karakter (tokoh) yang kuat, terutama dalam novel anak, sangat mungkin karakter itu pun dialihkan hak ekonominya. Contoh karakter-karakter yang mendunia adalah superhero Marvel atau DC, Princess Disney, Upin dan Ipin (Malaysia), Pororo (Korea), dan Star Wars. Karakter itu ditawarkan transformasinya ke berbagai produk, termasuk produk-produk merchandise, seperti mainan, T-shirt, tas, dan alat tulis.

Memang untuk para penulis pemula, bernegosiasi soal hak cipta turunan ini tentu sesuatu yang meragukan. Sering kali yang mengemuka bahwa mereka harusnya bersyukur naskahnya diterbitkan. Jadi, jangan macam-macamlah. Tentu berbeda dengan penulis yang sudah punya nama dan memiliki posisi tawar tinggi.

Di Indonesia sendiri belumlah populer profesi literary agent yang dapat menjadi wakil penulis dalam bernegosiasi dengan penerbit. Seorang J.K. Rowling sebelum menjadi sangat populer, perlu menggunakan jasa literary agent untuk meloloskan Harry Potter.

Jadi, penulis di Indonesia masih harus berjuang untuk dapat bernegosiasi dengan para penerbit. Namun, melek terhadap hak cipta turunan paling tidak membantu sikap berjaga-jaga. Para penulis harus tahu apa saja yang dapat mereka peroleh jika suatu karya meledak, lalu dialihwahanakan.

Dalam “gembar-gembor” masa kini disebutkan bahwa kita harus menyadari telah memasuki era Revolusi Industri 4.0—ditandai dengan peningkatan pesat teknologi informasi. Masyarakat ekonomi berbasis pengetahuan alias masyarakat yang literat menjadi sebuah jargon untuk mampu bersaing. 

Namun, jika persoalan hak cipta saja masih banyak yang tidak tahu, tentu Revolusi Industri 4.0 hanya menjadi mimpi buruk bagi para artisan di dunia penulisan. Mereka tidak akan pernah makmur secara ekonomi karena lebih banyak dinikmati kaum kapitalis.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun