Pernah dengar istilah ‘alih wahana’? Baru-baru ini sastrawan kawakan, Sapardi Djoko Damono, menerbitkan buku nonfiksi berjudul Alih Wahana (Gramedia). Di dalam buku tersebut dijelaskan tentang istilah ‘alih wahana’ berikut ini.
Alih wahana artinya pengubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Wahana berarti kendaraan, jadi alih wahana adalah proses pengalihan dari satu jenis ‘kendaraan’ ke jenis ‘kendaraan’ lain. Sebagai ‘kendaraan’, suatu karya seni merupakan alat yang bisa mengalihkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain. Dalam arti yang lebih luas, istilah ini bahkan juga bisa mencakup pengubahan dari berbagai jenis ilmu pengetahuan menjadi karya seni.
Pendeknya, alih wahana adalah pengubahan suatu bentuk karya menjadi karya lain. Hal ini berkonsekuensi pada munculnya hak cipta turunan (subsidiary right) pada suatu karya—tidak terbatas hanya fiksi, tetapi juga nonfiksi. Di dalam UU Hak Cipta Nomor 28/2014 (UHHC), proses ini disebut transformasi ciptaan.
Banyak contoh yang sudah terjadi. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dialihkan ke dalam bentuk film, lalu dialihkan lagi dalam bentuk pertunjukan drama musikal. Game populer Angry Bird juga dialihkan ke dalam bentuk film animasi, lalu karakternya juga dijual dalam bentuk merchandise.
Saya pernah mendapatkan penawaran dari sebuah agensi untuk mengakuisisi karakter Angry Bird dalam bentuk buku terbitan Indonesia. Nilai akuisisi sebagai advance fee lebih dari Rp 500 juta ditambah dengan royalti 7% per tahun. Bahkan, advance fee itu sifatnya "hangus".
Wuih, betapa mahalnya memang sebuah karya cipta kelas dunia itu meskipun itu karya cipta turunan. Kita di Indonesia belum memiliki “karakter” kuat dari suatu produk yang mendunia.
Karya lain yang perlu disebutkan adalah karya Sapardi Djoko Damono. Puisi “Hujan Bulan Juni” kemudian dialihwahanakan menjadi film, lagu (musik), dan akhirnya novel. Bayangkan hanya dari satu puisi dapat melahirkan beberapa karya turunan. Demikianlah sebuah karya sangat mungkin beranak pinak menjadi karya seni lainnya.
Hak Cipta Turunan di Dalam Naskah
Saya memfokuskan tulisan ini pada karya primer berupa karya tulis (naskah). Di dalam setiap karya cipta terkandung dua hak yaitu hak moral dan hak ekonomi. Tentang apa pengertian hak moral dan hak ekonomi, Anda dapat membaca detailnya di UUHC.
Hak yang dialihkan penulis kepada penerbit adalah hak ekonomi. Di dalam hak ekonomi sebuah karya tulis terkandung di antaranya hak untuk penerbitan, penggandaan ciptaan dengan segala bentuknya, penerjemahan, pentransformasian (alih wahana), pendistribusian, dan pertunjukan (UUHC; Pasal 9).
Di sini perlunya letak kejelian Anda sebagai pemegang hak cipta. Ketika melakukan perjanjian lisensi (perjanjian tertulis pengalihan hak cipta) dengan penerbit, Anda harus memastikan hak ekonomi yang mana yang Anda serahkan. Apakah seluruh hak ekonomi atau hanya satu hak?
Contohnya, untuk suatu naskah novel, Anda berhak hanya menyerahkan hak ekonomi berupa penerbitan, penggandaan, dan pendistribusian novel dalam bahasa Indonesia. Namun, untuk penerjemahan ke bahasa asing tetap berada di tangan Anda. Begitu pula hak untuk memfilmkan novel tersebut.