Apa yang terpikir oleh Anda jika ada produk dilabeli SNI? Apakah Anda merasa bahwa produk SNI itu terkait dengan kualitas baik? Demikian salah satu hasil penelitian yang sekilas saya baca dari jurnal Standardisasi milik BSN (Badan Standardisasi Nasional) tentang persepsi masyarakat terhadap produk ber-SNI.
Boleh jadi begitu membaca atau mendengar tentang SNI, kali pertama yang tersirat adalah kasus yang mencuat baru-baru ini. Seseorang curhat di media sosial tentang barang mainan pesanannya yang ditahan oleh pihak Bea dan Cukai. Pasalnya, mainan itu tidak ber-SNI.
Untuk mengurus SNI, orang tersebut harus mengurusnya di dua kementerian di Jakarta. Ia merasa dipingpong karena bolak-balik tanpa kejelasan. Bahkan, antiklimaks akhirnya mainan itu dimusnahkan di kantor Bea dan Cukai. Menanggapi hal ini sampai-sampai Menkeu Sri Mulyani angkat bicara.
Tampaknya antara regulasi dan petugas di lapangan sering tidak sinkron dalam penerapannya. SNI yang dimaksudkan untuk melindungi konsumen di Indonesia malah menjadi ribet. Publikasi tentang SNI sendiri kepada masyarakat awam boleh dibilang masih minim. Walaupun demikian, jika kita berkunjung ke situs BSN, sejatinya tersedia cukup banyak kanal informasi tentang SNI.
Kiprah BSN dalam standarisasi
SNI telah ditetapkan sebagai satu-satunya standar nasional yang berlaku di Indonesia. Lembaga yang berwenang mengeluarkan SNI adalah Badan Nasional Standardisasi yang terbentuk pada tahun 1997. Waktu itu yang mendorong berdirinya BSN (memisahkan diri dari LIPI) adalah B.J. Habibie sehingga lahirlah Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 . Selanjutnya, Presiden Abdurrahman Wahid menandatangani Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 sebagai penyempurnaan BSN.
BSN memiliki kepanjangan tangan dalam penetapan sistem akreditasi dan sertifikasi (produk) yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU) untuk penetapan satuan dan ukuran.
SNI dimaksudkan untuk melindungi masyarakat pengguna dari aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, serta pelestarian fungsi lingkungan. Selain itu, dari sisi industri, SNI dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing produk nasional dan memperlancar arus perdagangan. Penerapan SNI memang selayaknya berbasis standar internasional.
Karena itu, BSN juga tergabung di dalam International Organization of Standardization (ISO) sehingga penerapan SNI umumnya berbasis ISO. Kini ada lebih dari 7.000 SNI yang telah dihasilkan oleh BSN, termasuk di antaranya SNI Perbukuan.
Memang ada, SNI perbukuan?
Beberapa tahun lewat saya diinformasikan oleh kolega saya dari LIPI Press bahwa sudah ada SNI Perbukuan berbasis ISO. Dengan penasaran, saya pun berkunjung ke situs BSN dan memang menemukan adanya SNI Perbukuan. Bahkan, BSN menerbitkan buku berjudul Manual Gaya Penulisan Buku Berdasarkan SNI dan ISO karya Tisyo Haryono.
Namun, saya mengkritik penerbitan buku ini karena justru tidak menerapkan standar dan konvensi internasional terkait penerbitan buku. Contohnya, di dalam halaman pendahulu (preliminaries) yang semestinya tidak ada judul lelari/pelari (running title) justru malah ada. Contoh lain adalah deskripsi yang ditulis oleh penulis sendiri tentang buku disebut kata pengantar (foreword) yang seharusnya prakata (preface).
Di sisi lain, buku tersebut membahas penerapan SNI berbasis ISO untuk penulisan buku, seperti standar kelengkapan informasi pada halaman judul buku, punggung buku (spine), penyusunan indeks, dan tentang standar penomoran buku secara internasional (ISBN). Namun, sekali lagi, SNI ini belum komprehensif mencakup keseluruhan anatomi buku dan juga tata tulis lainnya.
Jadi, kalaupun mau diacu oleh para penulis dan penerbit, tampaknya masih menggantung. Seperti juga yang terjadi pada penerbitan buku Manual Gaya Penulisan Berdasarkan SNI dan ISO yang justru masih mengandung beberapa kelemahan.
SNI Perbukuan ini faktanya ternyata tidak "berbunyi" di kalangan pelaku perbukuan sendiri. Saya yakin 99% penerbit atau penulis buku tidak ada yang tahu bahwa ada SNI Perbukuan berbasis ISO yang sudah ditetapkan. Masalahnya, saat penyusunan tidak ada wakil asosiasi seperti Ikapi atau APPTI diundang oleh Komite Teknis yang menyusunnya di BSN.
Saya kira penyusunan SNI ini sama dengan penyusunan SKKNI yang diinisiasi oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Penyusunan suatu standar, baik itu sertifikasi maupun akreditasi, hendaknya melibatkan para pemangku kepentingan. Apalagi, saat ini di dalam UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan telah disebutkan dengan jelas siapa saja pelaku perbukuan.
SNI Perbukuan
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tanggal 13-15 Maret 2018, saya justru diundang sebagai narasumber/instruktur Pelatihan Konversi KTI Nonbuku Menjadi Buku untuk fungsional peneliti, pustakawan, dan widyaiswara di BSN. Jadilah selama tiga hari itu saya juga membahas tentang standar dalam dunia penulisan sekaligus penerbitan buku.
Saya juga terlibat dalam penyusunan standar Perjenjangan Buku di Puskurbuk yang telah menghasilkan daftar perjenjangan buku berdasarkan kemampuan membaca dan usia pembaca sasaran. Dengan demikian, penulis dan penerbit akan memiliki acuan standar dalam menulis dan menerbitkan buku, terutama buku anak-anak.
Gayung bersambut tampaknya BSN merespons upaya untuk menyusun SNI Perbukuan berbasis ISO secara komprehensif. Apalagi, dasar hukumnya juga sangat kuat yaitu Undang-Undang dan penerapan standar dimaksudkan sebagai salah satu langkah penjaminan mutu buku, terutama buku pendidikan.
Semesta mendukung, Tuhan memberkati. Ini sebentuk perjuangan untuk dunia perbukuan Indonesia agar semakin maju dengan standar kualitas kelas dunia. Senyampang telah terbitnya UU Sistem Perbukuan dan disusunnya PP tentang Sistem Perbukuan maka tersusun pula SKKNI bidang perbukuan sekaligus SNI Perbukuan.
Bukankah kita Indonesia telah pernah menjadi tamu kehormatan di ajang bergengsi perbukuan dunia, Frankfurt Book Fair tahun 2015? Bukankah tahun depan kita juga akan menjadi Market Focusdi pameran perbukuan prestisius, London Book Fair? Jadi, tidak ada alasan untuk bermalas-malasan menyusun standar, sertifikasi, dan akreditasi.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H