Isu sejarah 1965 kembali mengemuka. Walaupun peristiwa 1965 baru lewat 52 tahun lalu, kontroversi dan misteri masih saja menyelimuti. Padahal, kejadian tragisnya hanya berlangsung 1 hari yang disebut dalam salah satu versi sejarah adalah percobaan kudeta oleh PKI. Hari-hari berikutnya adalah gerak cepat dari Soeharto mengendalikan situasi ketika para jenderal telah dihabisi. Hanya tersisa A.H. Nasution perwira tertinggi TNI yang saat itu tengah cedera karena tertembak kakinya serta harus menghadapi kenyataan kehilangan buah hatinya, Ade Irma Suryani.Â
Mari melihat dari sisi dokumentasi sejarah. Tumbangnya Orde Lama melahirkan Orde Baru dengan kekuatan rezimnya mengontrol segala hal terkait publikasi sejarah. PKI benar-benar "ditelanjangi" dan dibungkam. Sejarah kelam itu ditampilkan dalam bentuk film bertajuk Pengkhianatan G30S/PKIyang disutradarai oleh Arifin C. Noer serta melibatkan sejumlah artis dan seniman papan atas di negeri ini pada masa itu. Lalu, muncul pula buku referensi sejarah paling laris tahun 1980-an bertajuk 30 Tahun Indonesia Merdeka.Â
Buku tersebut terbit dalam empat jilid dan yang menjadi favorit adalah jilid 4 periode 1965-1973 karena di dalamnya termuat peristiwa mencekam dalam sejarah pascakemerdekaan Indonesia yaitu Peristiwa 30 September 1965. Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka dikemas dengan foto-foto sejarah yang menarik serta narasi-narasi ringkas sehingga sangat berpengaruh pada zamannya.
Penulis sejarah bernama Nugroho Notosusanto
Pada masa-masa itu bagi generasi seangkatan saya yang lahir tahun 1970-an juga mengenal buku pelajaran sejarah yang ditulis Nugroho Notosusanto berjudul Sejarah Nasional Indonesia(6 jilid). Nugroho yang sempat menjadi Mendikbud (Kabinet Pembangunan IV) ini juga adalah seorang tentara (ABRI kala itu) berpangkat akhir brigjen. Profil Nugroho sangat lengkap selain berkarier di militer, ia juga akademisi (sempat menjadi Rektor UI), dan dikenal sebagai sastrawan Angkatan '66.
Dalam catatan sejarah yang termuat di Wikipedia, Nugroho disebutkan juga sebagai penulis produktif. Ia menulis cerpen dan esai. Salah satu karyanya yang masih saya miliki adalah kumpulan cerpen berjudul Hujan Kepagian yang memuat lima cerpen dengan tema perjuangan--tema dominan yang selalu dipilih Nugroho dalam karya sastranya. Karena itu, dengan segala kompetensi dan latar belakangnya, Nugroho Notosusanto menjadi subjek yang paling tepat untuk menuliskan sejarah versi ABRI dan Orde Baru kala itu.Â
Jadilah Nugroho kemudian diminta menuliskan sejarah ABRI pada tahun 1964 demi mengamankan isinya dari kontaminasi kelompok kiri, terutama terkait Peristiwa Madiun. Saat menjabat sebagai Mendikbud (1983-1985), Nugroho menggunakan kesempatan itu untuk menulis ulang buku pelajaran sejarah yang kental bermuatan peran militer (Sejarah Nasional Indonesia). Buku tersebut menjadi pembentuk tata benak generasi seangkatan saya yang mengunyah buku paket terbitan Balai Pustaka itu.
Tahun 1984, Nugroho dipercaya menjadi penulis skenario film Pengkhianatan G30S/PKI dalam versi Orde Baru yang kini diributkan kembali. Perdebatan soal film tersebut memang tidak dapat dilepaskan dari sosok dan peran Nugroho Notosusanto.Â
Nugroho Notosusanto adalah contoh penulis sejarah yang berperan besar pada zamannya untuk menulis sejarah dalam versinya atau versi rezim yang merekrutnya. Setelah reformasi, kontroversi Nugroho mulai dibincangkan dan didebatkan. Ia adalah orang yang menyebutkan bahwa pencetus Pancasila pertama bukanlah Soekarno, melainkan Mr. Muhammad Yamin. Karena itu, tanggal 1 Juni tidak diperingati lagi oleh Orba sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ia juga pernah mengusulkan mengganti Hari Pahlawan menjadi tanggal 1 Maret, bukan tanggal 10 November.
Kontroversial seorang Nugroho terhenti saat ia meninggal tahun 1985. Namun, efek kontroversial itu ternyata masih menjalar hingga sekarang, termasuk film Pengkhianatan G30S/PKI. Pada zaman Orba, penulis-penulis sejarah memang terbungkam oleh Rezim Soeharto. Sejarah berbelok, termasuk yang saya pahami sebagai generasi yang dibesarkan di sekolah pada zaman Orba.
Penulisan sejarah pascareformasi
Pascareformasi, mulai banyak buku putih sejarah yang terbit. Beberapa sejarawan dan penulis sejarah mulai berani meluruskan yang bengkok-bengkok tentu juga dalam versi mereka. Di Salamadani Pustaka Semesta, saya sempat membantu kelahiran buku Api Sejarah karya Prof. Mansur Suryanegara yang laku keras karena kontroversialnya. Di samping Prof. Mansur, ada juga Asvi Warman Adam, peneliti LIPI yang sempat menulis buku Membongkar Manipulasi Sejarah. Asvi juga berusaha meluruskan sejarah yang menurutnya genit berlenggak-lenggok.
Saya kira para penulis sejarah itu memang "seksi" dari sisi kontoversi sejarah dalam versi penemuan atau penelitiannya. Karena itu, tidak jarang antarpenulis sejarah saling bersengketa. Bahkan, di dalam ilmu sejarah ada yang disebut historiografi yaitu ilmu menuliskan sejarah. Mungkin karena banyak penulis sejarah yang "asnul" alias asal nulis maka Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, memelopori tersusunnya SKKNI Penulis Sejarah (SKKNI No. 94 Tahun 2017).
Ini juga menjadi catatan sejarah karena profesi Penulis Sejarah menjadi profesi penulis pertama yang memiliki SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia). Artinya, akan berdiri pula lembaga sertifikasi profesi (LSP) khusus penulis sejarah. Mereka yang tidak tersertifikasi sebagai penulis sejarah tentu diragukan sebagai penulis sejarah. Namun, apa iya sertifikasi akan menjamin subjektivitas penulisan sejarah akan tereliminasi dengan sendirinya?Â
Boleh jadi juga karena penulis sejarah ini memang "seksi" maka harus disertifikasi. Penulis sejarah akan diperlukan untuk meneliti dan menuliskan sejarah untuk kepentingan utama sebagai dokumentasi dan bahan kajian generasi masa mendatang, baik oleh negara maupun oleh swasta dan perseorangan. Sebagai contoh, penulis biografi adalah para penulis sejarah yang bekerja secara profesional untuk menuliskan sejarah hidup tokoh tertentu (perseorangan). Ada istilah biografi resmi (official biography) untuk menyebut biografi yang resmi diberi izin oleh si empunya kisah hidup untuk dituliskan dan diterbitkan.Â
Soal subjektivitas dan objektivitas tentu sangat bergantung pada integritas si penulis sejarah itu sendiri. Objektivitas sangat mungkin terjadi jika si penulis sejarah menulis secara independen--bukan merupakan pesanan atau ada yang mensponsori. Pemelintiran sejarah hanya terjadi pada para penulis sejarah yang memiliki bakat tukang gulat.Â
Seksinya penulis sejarah
Ada pengalaman saya menarik soal penulisan sejarah ini. Suatu saat PT Badak NGL mengundang saya untuk melakukan penulisan sejarah Kota Bontang (Kaltim). Sebuah buku yang terbit lebih dulu ternyata membuat gerah manajemen PT Badak NGL. Buku yang dimaksud ditulis dan diterbitkan atas sokongan PT Pupuk Kaltim--BUMN yang juga berada di Kota Bontang. Karena itu, versi sejarah Kota Bontang yang terbit sangat menonjolkan peran PT Pupuk Kaltim dalam membangun Bontang. Adapun peran PT Badak NGL dituliskan secuil.Â
Dua bulan saya bolak-balik Bandung-Bontang dan kadang tinggal di sana selama seminggu untuk melakukan riset pustaka, wawancara, dan menulis. PT Badak NGL punya fakta berharga berupa foto-foto sejak tahun 1970-an hingga 2000-an terkait pembangunan yang mereka lakukan terhadap Bontang. Selain itu, masih ada saksi sejarah yang dapat diwawancarai. Logika ilmu juga berperan di sini bahwa tidak mungkin ada pabrik pupuk tanpa ada pabrik gas yang memasok bahan baku pembuatan pupuk terlebih dahulu. Secara kronologis memang PT Badak NGL yang kali pertama membuka Bontang, kawasan hutan yang dalam versi sejarahnya hanya dihuni beberapa keluarga pendatang.
Tidak banyak yang tahu tentang PT Badak NGL karena tidak ada buku sejarah yang dituliskan. Saya meyakini banyak perusahaan nasional pada masa lalu yang sampai kini tidak memiliki buku sejarah. Banyak juga daerah yang belum mendokumentasikan sejarahnya dalam bentuk buku. Alhasil, sangat mungkin terjadi sejarah yang simpang siur.
Namun, memang sifatnya penulis sejarah kental bermuatan kontroversial. Riset sejarah juga menghasilkan interpretasi sejarah yang sangat mengandalkan data dan fakta. Beruntung sekali penulis sejarah yang dapat menemui pelaku sejarah yang masih hidup atau mendapatkan bukti-bukti autentik peristiwa sejarah. Dengan demikian, paling tidak bias sejarah dapat dihindarkannya.
***
Tertarik menjadi penulis sejarah? Jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah) kata Presiden Soekarno. Masa lalu itu memang "seksi" untuk dibedah, apalagi yang masuk kategori ngeri-ngeri sedap. Terbongkarnya fakta sejarah menjadi "jualan" yang selalu ditunggu oleh massa. Jadi, kalau mau menonton atau menentang film Pengkhianatan G30S/PKI tidak usah terlalu baper. Tonton saja dan buatlah resensi filmnya agar Anda tetap menulis dan waras--sembuh jasmani, sehat rohani (menurut KBBI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H