Sesungguhnya saya tidak mempersiapkan diri hadir pada acara Workshop Penulis dan Penerbit yang diselenggarakan oleh Bekraf, Satu Pena, dan Ikapi di dalam rangkaian kegiatan Indonesia International Book Fair (IIBF) di JCC, pada Sabtu 9/9 kemarin.Â
Saya sudah memberi tahu panitia untuk mengundang Pak Bambang Wasito Adi dalam kapasitasnya sebagai anggota Tim Pendamping Ahli RUU Sisbuk di Komisi X DPR-RI. Namun, Pak BWA berhalangan hadir sehingga saya sebagai Bambang kedua dari tim pendamping ahli itu pun diminta hadir.Â
Jadilah, hari Sabtu saya mengunjungi IIBF dan mempersiapkan materi tentang implementasi UU Sisbuk No. 3/2017 terhadap pengembangan dan pembinaan pelaku perbukuan. Hadir dalam kesempatan membuka acara tersebut yaitu Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Bekraf, Ibu Endah Wahyu Sulistianti.Â
Sebelumnya, saya sempat kontak via WA dan ponsel dengan beliau terkait pendirian asosiasi penulis. Saat itu Bekraf tengah membidani lahirnya Satu Pena, di sisi lain saya juga tengah mempersiapkan kelahiran Penpro (Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia).
Ia tidak menyadari kehadiran saya di situ. Ketika, saya duduk hanya selang satu orang di sampingnya, Bu Endah langsung menyapa dengan ramah dan kami berdialog sejenak soal Penpro dan Satu Pena.Â
Memang Penpro yang didirikan lebih dulu dari Satu Pena yaitu tanggal 22 Desember 2016 bukanlah dimaksudkan sebagai rival Satu Pena (Persatuan Penulis Indonesia). Di beberapa negara sangat wajar ada beberapa asosiasi dalam satu profesi. Rivalitas menurut saya hanya membuang energi saja untuk membangun bangsa yang literat.
Saya kira tujuan Penpro dan Satu Pena sama yaitu meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan penulis serta membuat pemerintah dan bangsa ini mencintai penulis-penulis Indonesia. Hanya platform yang mungkin berbeda. Saya mengamini pesan Bu Endah bahwa Penpro dan Satu Pena harus bersinergi.
Alhasil, acara kemarin menjadi forum resmi yang mempertemukan saya, Ketum Penpro dan Ketum Satu Pena, Bang Nasir Tamara, dengan ditengahi langsung oleh Kabekraf, Bapak Triawan Munaf dan Ketua Ikapi, Ibu Rosidayati Rozalina.Â
Pak Triawan hadir belakangan ketika acara memasuki sesi kedua yang diisi oleh Candra Darusman, Ari Juliano (Bekraf), dan Kartini Nurdin (Ikapi). Saya pun sempat menghampiri beliau dan mengenalkan diri sebagai Ketum Penpro.
Bagaimanapun Bekraf memang harus mengakomodasi, baik Satu Pena maupun Penpro sebagai asosiasi profesi penulis yang resmi berdiri di Indonesia. Penpro sendiri kini telah didaftarkan oleh notaris sebagai organisasi perkumpulan lengkap dengan susunan pengurus, AD/ART, serta Kode Etik Penulis Profesional.Â
Ada lebih 200 orang penulis tergabung dengan Penpro kini yang berasal dari berbagi latar belakang (penulis akademis, penulis bisnis, jurnalis, penulis skenario, penulis fiksi, dsb.). Penpro telah memiliki cabang di Jakarta, Tangerang (Banten), Depok, Bandung, Jogja, Solo, Semarang, Makassar, Palembang, Bengkulu, Medan, dan beberapa kota/kabupaten lainnya. Informasi tentang penpro dapat diakses di penpro.id.
Ada dua hal yang terungkap dari kegiatan Workshop Penulis dan Penerbit bahwa pertama, Penpro telah memulai rintisan sertifikasi penulis buku nonfiksi yang akan ditindaklanjuti dengan pendirian lembaga sertifikasi profesi. Kedua, Satu Pena juga sudah lebih awal menyikapi pajak royalti penulis yang digegerkan kembali oleh Tere Liye--sayang yang bersangkutan urung hadir di acara tersebut karena ada acara di tempat lain.Â
Bang Nasir Tamara, Ketum Satu Pena, membeberkan usulan-usulan terkait pajak yang menurutnya telah dihasilkan dari riset kilat oleh tim Satu Pena. Saat itu juga Satu Pena mengeluarkan pernyataan sikap terkait pajak royalti penulis. Penpro mendukung pernyataan sikap itu karena ujungnya adalah untuk kesejahteraan penulis.
Soal pajak royalti ini sebenarnya dapat dihubungkan dengan Pasal 35 ayat (1)d UU Sisbuk yang menyebutkan bahwa "Pemerintah berwenang memberikan insentif fiskal untuk pengembangan perbukuan". Di dalam penjelasan disebutkan kembali bahwa "Yang dimaksud dengan 'insentif fiskal' adalah kebijakan pemerintah dalam bidang keuangan yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri perbukuan nasional". Karena itu, Ibu Sri Mulyani, Menkeu kita, dapat menjadikan UU Sisbuk ini sebagai salah satu dasar hukum memberikan insentif fiskal untuk pelaku perbukuan dan dunia perbukuan. Jika perlu, insentif fiskal tersebut dapat diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah sehingga lebih jelas aturan mainnya.
Pendeknya, pajak dalam dunia perbukuan harus ditinjau kembali untuk menggairahkan aktivitas perbukuan yang menjadi fondasi budaya bangsa. Buku tidak dapat dipandang sebagai produk bisnis semata.Â
Karena itu, wajar juga jika PPn untuk buku dinolkan pada semua jenis buku, bukan hanya buku pendidikan dan buku agama. Sebenarnya semua buku dapat dikategorikan sebagai buku pendidikan apabila ia mengandung unsur-unsur yang membuat pembacanya lebih pintar, lebih tercerahkan, dan termotivasi untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Berkali-kali saya mengutip tulisan Ignas Kleden 17 tahun lalu bahwa BUKU dapat dipandang sebagai perilaku budaya, produk budaya, dan proses produksi budaya. Pemerintah dan masyarakat harus menyadari bahwa kebudayaan kita dipengaruhi oleh budaya literasi bernama buku.Â
Karena itu, para pelakunya wajar untuk mendapat perlakuan dan dicintai apabila memang mendorong terciptanya budaya adiluhung. Kemandekan dalam dunia penulisan dan penerbitan dapat disamakan dengan kemunduran budaya.
Saya kembali mengulang pernyataan ini: Tidak ada satu bidang pun di dunia ini dapat lepas dari tulis-menulis. Sejak zaman dulu penulis diperlukan, bahkan pada zaman kerajaan, penulis mendapatkan perlakuan-perlakuan istimewa (privilege). Penulis-penulis "dipelihara" oleh kerajaan. Itu pula yang terungkap dari buku Maman S. Mahayana berjudul Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia.
Ketika penulis memasuki seluruh relung kehidupan, sejatinya ia tidak dapat dimatikan atau mematikan dirinya sendiri, apalagi pada zaman kini. Jika seorang Tere Liye memutuskan tidak lagi menerbitkan buku konvensional karena alasan pajak itu, sejatinya ia tidak berhenti untuk berkarya dengan cara apa pun dan media apa pun. Ketika seorang Andrea Hirata menyatakan akan pensiun menulis (buku), sejatinya ia akan tetap menulis dalam bentuk lain dan tidak mungkin beristirahat menggunakan media kata-kata.Â
Namun, dunia kita akan sepi dengan keputusan penulis untuk tidak lagi menulis buku. Sepi dari tradisi intelektual yang mendalam sehingga kita menjadi lebih sibuk berdiskusi soal status Facebook atau media sosial lainnya yang kebanyakan ditulis selewat tanpa pemikiran, apalagi riset mendalam. Karena itu, cintailah penulis-penulis Indonesia dengan menghargai karya mereka.
Kamu, ya kamu, jangan lagi minta buku gratis kepada penulis. Sudahlah royaltinya kecil dan dipotong pajak, malah dipalak pula. Cintailah penulis-penulis Indonesia, apalagi yang pintar bernyanyi.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H