Ada dua hal yang terungkap dari kegiatan Workshop Penulis dan Penerbit bahwa pertama, Penpro telah memulai rintisan sertifikasi penulis buku nonfiksi yang akan ditindaklanjuti dengan pendirian lembaga sertifikasi profesi. Kedua, Satu Pena juga sudah lebih awal menyikapi pajak royalti penulis yang digegerkan kembali oleh Tere Liye--sayang yang bersangkutan urung hadir di acara tersebut karena ada acara di tempat lain.Â
Bang Nasir Tamara, Ketum Satu Pena, membeberkan usulan-usulan terkait pajak yang menurutnya telah dihasilkan dari riset kilat oleh tim Satu Pena. Saat itu juga Satu Pena mengeluarkan pernyataan sikap terkait pajak royalti penulis. Penpro mendukung pernyataan sikap itu karena ujungnya adalah untuk kesejahteraan penulis.
Soal pajak royalti ini sebenarnya dapat dihubungkan dengan Pasal 35 ayat (1)d UU Sisbuk yang menyebutkan bahwa "Pemerintah berwenang memberikan insentif fiskal untuk pengembangan perbukuan". Di dalam penjelasan disebutkan kembali bahwa "Yang dimaksud dengan 'insentif fiskal' adalah kebijakan pemerintah dalam bidang keuangan yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri perbukuan nasional". Karena itu, Ibu Sri Mulyani, Menkeu kita, dapat menjadikan UU Sisbuk ini sebagai salah satu dasar hukum memberikan insentif fiskal untuk pelaku perbukuan dan dunia perbukuan. Jika perlu, insentif fiskal tersebut dapat diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah sehingga lebih jelas aturan mainnya.
Pendeknya, pajak dalam dunia perbukuan harus ditinjau kembali untuk menggairahkan aktivitas perbukuan yang menjadi fondasi budaya bangsa. Buku tidak dapat dipandang sebagai produk bisnis semata.Â
Karena itu, wajar juga jika PPn untuk buku dinolkan pada semua jenis buku, bukan hanya buku pendidikan dan buku agama. Sebenarnya semua buku dapat dikategorikan sebagai buku pendidikan apabila ia mengandung unsur-unsur yang membuat pembacanya lebih pintar, lebih tercerahkan, dan termotivasi untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Berkali-kali saya mengutip tulisan Ignas Kleden 17 tahun lalu bahwa BUKU dapat dipandang sebagai perilaku budaya, produk budaya, dan proses produksi budaya. Pemerintah dan masyarakat harus menyadari bahwa kebudayaan kita dipengaruhi oleh budaya literasi bernama buku.Â
Karena itu, para pelakunya wajar untuk mendapat perlakuan dan dicintai apabila memang mendorong terciptanya budaya adiluhung. Kemandekan dalam dunia penulisan dan penerbitan dapat disamakan dengan kemunduran budaya.
Saya kembali mengulang pernyataan ini: Tidak ada satu bidang pun di dunia ini dapat lepas dari tulis-menulis. Sejak zaman dulu penulis diperlukan, bahkan pada zaman kerajaan, penulis mendapatkan perlakuan-perlakuan istimewa (privilege). Penulis-penulis "dipelihara" oleh kerajaan. Itu pula yang terungkap dari buku Maman S. Mahayana berjudul Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia.
Ketika penulis memasuki seluruh relung kehidupan, sejatinya ia tidak dapat dimatikan atau mematikan dirinya sendiri, apalagi pada zaman kini. Jika seorang Tere Liye memutuskan tidak lagi menerbitkan buku konvensional karena alasan pajak itu, sejatinya ia tidak berhenti untuk berkarya dengan cara apa pun dan media apa pun. Ketika seorang Andrea Hirata menyatakan akan pensiun menulis (buku), sejatinya ia akan tetap menulis dalam bentuk lain dan tidak mungkin beristirahat menggunakan media kata-kata.Â
Namun, dunia kita akan sepi dengan keputusan penulis untuk tidak lagi menulis buku. Sepi dari tradisi intelektual yang mendalam sehingga kita menjadi lebih sibuk berdiskusi soal status Facebook atau media sosial lainnya yang kebanyakan ditulis selewat tanpa pemikiran, apalagi riset mendalam. Karena itu, cintailah penulis-penulis Indonesia dengan menghargai karya mereka.
Kamu, ya kamu, jangan lagi minta buku gratis kepada penulis. Sudahlah royaltinya kecil dan dipotong pajak, malah dipalak pula. Cintailah penulis-penulis Indonesia, apalagi yang pintar bernyanyi.[]