Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sontoloyo, Plagiat Buku Merajalela!

3 Agustus 2017   07:47 Diperbarui: 5 Agustus 2017   13:24 5727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak sampai sebulan, saya sudah menerima tiga laporan tentang buku rekan-rekan penulis yang diplagiat dalam bentuk buku lagi dengan judul yang mirip atau paling tidak mengandung satu-dua kata kunci dari buku mereka. Pertama, saya dikontak Mas Dodi Mawardi terkait bukunya Belajar Goblok dari Bob Sadino yang dijiplak dengan judul BobSadino Goblok Pangkal Kaya diterbitkan oleh Penerbit Genesis (Jogja). Kalau penulisnya berinisial HW--lihat saja kepanjangannya di foto. 

Kedua, secara tidak langsung, saya juga ditautkan status Mas Arvan Pradiansyah tentang bukunya berjudul You are A Leader. Buku "kembarannya" itu berjudul 101 Amazing Leadership Idea ditulis oleh PA--nama belakangnya hampir mirip dengan penulis asli. Penerbit buku jiplakan itu bernama Anak Hebat Indonesia (AHI) yang juga berlokasi di Jogja.

Sumber: Arvan Pradiansyah
Sumber: Arvan Pradiansyah
Ketiga, pas bangun tidur subuh ini saat membuka FB, tertautlah pesan dari Monica Anggen tentang bukunya 99 Cara Berpikir ala Sherlock Holmes.Ia mengirim foto bukunya yang berdampingan dengan buku Berpikir dan Menyelesaikan Masalah ala Sherlock Holmes.Monica belum berani berspekulasi tentang penjiplakan bukunya, tetapi ia sudah membaca pengantarnya yang mirip. Penulisnya berinisial BWA dan lagi-lagi penerbitnya adalah AHI. Jadi, wajar saja Monica patut cemas dengan bukunya walaupun status FB yang ditautkan kepada saya bernada sabar dan tawakal.

Sumber: Monica Anggen
Sumber: Monica Anggen
Tentang kasus pertama secara bulat tekad, Mas Dodi menempuh jalur hukum setelah penulisnya meminta maaf alakadarnya dan penerbit tidak merespons. Kasus kedua saya baca lagi status Mas Arvan bahwa penulisnya sudah meminta maaf secara terbuka di Instagram, penerbit merasa tidak ada urusan. Lalu, kasus ketiga yang menimpa Monica masih akan bergulir dengan investigasi penulisnya sendiri.

Modus Penjiplakan

Penjiplakan atau plagiat yang dilakukan pada buku-buku tersebut, kecuali buku ketiga yang masih dalam investigasi, adalah jenis plagiat paling kurang ajar. Bahasa kerennya seperti yang pernah ditulis  Masri Sareb Putra, dalam bukunya Kiat Menghindari Plagiat (2011) adalah direct plagiarism.Si plagiator mengopi langsung sumber kata demi kata tanpa menunjukkan bahwa itu adalah hasil pengutipan karya orang lain.

Gibaldi dan Achtert (dalam Fanany, 1992) menyebut plagiat kata per kata adalah plagiat paling parah. Bahkan, Gibaldi dan Achtert serta Markman (dalam Fanany, 1992) menyetujui suatu teks dapat dicap plagiat walaupun tidak sepenuhnya berisikan kata-kata yang persis sama. Jika di antara kata-kata itu ada ditambahkan kata lain, itu tetap plagiat.

Para penjiplak yang ternyata lulusan sarjana, bahkan S-2 ini selalu berkilah bahwa buku yang mereka jiplak sudah dicantumkan sumbernya di dalam daftar pustaka. Saya tertawa miris mendengar alasan ini. Sejak kapan daftar pustaka menjadi pengesahan seseorang untuk menjiplak/mengutip tanpa mencantumkan sumber atau menerangkan bahwa itu adalah kutipan?

Jadi, saya mengumpulkan lagi buku-buku tentang plagiat yang menjadi koleksi saya. Salah satunya yang paling lawas adalah buku karya Ismet Fanany berjudul Plagiat-Plagiat di MIT: Tragedi Akademis di Indonesia terbitan Haji Masagung, 1992. Fanany saat itu membeberkan hasil investigasinya tentang dugaan plagiat disertasi yang dilakukan Yahya A. Muhaimin. Kasus ini mencuat ketika disertasi itu diterbitkan menjadi buku berjudul Bisnis dan Politikoleh LP3ES, lalu mendapat kecaman dari sejumlah pengusaha-salah satunya Probosutedjo--karena data yang digunakan tidak valid. Alih-alih mengangkat polemik, Fanany melakukan investigasi terhadap dugaan plagiat dari disertasi itu.

Dalam bukunya, Fanany menguraikan sedikit tentang definisi plagiat dari berbagai sumber, termasuk ia mengutip penjelasan dalam buku gaya selingkung Modern Language Association (MLA) berjudul MLA Handbook for Writers of Research Papersyang ditulis oleh Joseph Gibaldi dan Walter A. Achtert.

Dalam buku itu dijelaskan bahwa seseorang dicap plagiat bukan saja karena ia menyalin begitu saja seluruh buku atau artikel orang lain, tapi juga kalau dia menyalin gagasan orang lain atau ungkapan yang dipakai orang lain. Alhasil, seorang penulis harus menghindarkan menggunakan

  • kata-kata;
  • pendapat;
  • fakta;
  • kutipan;
  • ungkapan-ungkapan; dan
  • gagasan

yang diperoleh dari orang atau sumber lain tanpa mematuhi kaidah-kaidah yang sudah baku. (Fanany, 1992).

Daftar pustaka suatu kaidah yang menerangkan bahwa penulis menggunakan bahan-bahan/sumber di dalam daftar untuk menulis bukunya. Namun, penulis wajib merujuk (sitasi) teks-teks yang dia kutip dengan menggunakan catatan perut (in-text reference; in-note), catatan kaki (footnote), atau catatan akhir (endnote). Kaidah ini semestinya sudah dipahami para kaum intelektual yang terhormat, apalagi yang mengaku sarjana dari universitas ternama.

Kembali soal modus buku yang dijiplak terlihat bahwa penulis atau juga penerbit memilih buku-buku yang laris. Mereka bahkan membuat judul yang hampir sama dan sudah memberi sinyal bahwa terjadi penjiplakan gagasan orang lain. Judul-judul itu seperti yang saya sebutkan sebelumnya pasti menggunakan satu kata kunci. 

Penjiplakan yang terjadi juga berpuluh halaman, seperti Mas Dodi Mawardi yang mengaku lebih dari 50 halaman karyanya dijiplak secara langsung. Begitu pula Mas Arvan Pradiansyah yang 100% total bukunya dijiplak. Jadi, ini sudah tidak main-main lagi karena dilakukan orang yang mengaku berpendidikan, bahkan S-2 serta penerbit yang terang-terangan menjualnya melalui toko buku besar. Lucunya, yang dijiplak itu bukunya masih satu grup dengan toko buku besar itu. Satu hal yang membuat "sakit hati", buku-buku jiplakan itu ternyata mejeng juga di rak best seller. Sontoloyo!

Penerbitnya bagaimana? Saya masih mengira bukan anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Jika ternyata anggota Ikapi, tentu Ikapi harus memberi sanksi terhadap anggotanya yang melakukan penjiplakan terang-terangan seperti ini. Jika dikatakan penerbit tidak tahu-menahu dan itu urusan penulis, itu juga sangat naif karena di dalam buku itu ada editor yang berperan--kecuali editornya juga abal-abal. Jadi, coba sekalian diinvestigasi buku-buku di dalam katalog penerbit-penerbit tersebut. Jangan-jangan masih banyak yang mirip dengan buku-buku lain.

Dalam kapasitas saya sebagai Ketua Umum Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro), tentu saja saya prihatin dan mengecam cara-cara menulis buku seperti ini yang menjadi gejala untuk mendapatkan keuntungan mudah. Ada juga yang berdalih bahwa keuntungan buku ini akan disumbangkan untuk amal atau sosial--seperti yang terjadi pada Mas Arvan Pradiansyah dan saya juga beberapa waktu lalu. Namun, bagaimana boleh hasil keuntungan dijadikan amal dengan cara-cara haram seperti ini?

Masyarakat pembaca kita menjadi sangat dibodohi dengan cara-cara seperti ini karena memilih mungkin dengan pertimbangan murah dan isinya sama saja. Harga buku yang dijual dengan modus jiplakan itu memang lebih murah daripada harga buku yang dijiplak. Jogja gitu loh .... Ongkos cetak sangat murah dibandingkan Jakarta atau Bandung.

***

Sebagai ungkapan kesal, saya menggunakan kata 'sontoloyo' (salah satu favorit Bung Karno) yang memang sudah tercantum di KBBI V sebagai ragam cakapan--cek saja sendiri artinya. Kalaulah Om Bob Sadino masih hidup, pasti beliau juga akan berucap ke penulis dan penerbit yang terindikasi menjiplak itu dengan kata, "Goblok kamu!" Namun, bangsa ini semakin dicap "sakit" jika perilaku yang jelas-jelas melanggar UU Hak Cipta No. 28/2014 dan yang terbaru UU Sistem Perbukuan No. 3/2017, apalagi norma dan kode etik intelektual dan penulisan ini, terjadi di depan mata kita. 

Ini baru kasus buku memang. Kita belum membongkar kasus-kasus karya tulis ilmiah (KTI) dalam bentuk artikel jurnal ataupun skripsi-tesis-disertasi. Walaupun begitu, paling tidak kasus buku-buku jiplakan ini telah menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres dalam dunia literasi dan perbukuan kita yang secepatnya perlu dibenahi. Selama dua hari ini, saya bertungkus lumus merumuskan PP Perbukuan bersama pemerintah sebagai turunan dari UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan. Salah satu poin yang diangkat adalah tentang standar, kaidah, dan kode etik para pelaku perbukuan. Saya memberi sinyal bahwa berlakunya UU Sisbuk dan PP tentang Sistem Perbukuan akan menjadi peringatan bagi para plagiator buku untuk segera insaf, lalu bertobat.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun