Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Penulis Kurang Panik Plus Kurang Piknik

20 Juli 2017   12:08 Diperbarui: 20 Juli 2017   22:21 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Dimi Katsavaris on Unsplash

Apakah Anda ingat, para Kompasianer yang budiman, kapan Anda merasa panik dalam sebulan terakhir ini? Atau apakah Anda merasakan kepanikan, lalu mencurahkannya lewat tulisan? Jadi, apa hubungannya kurang panik dengan aktivitas menulis?

Nah, menarik ketika membaca buku terbaru Thomas L. Friedman bertajuk Thank You for Being Late: An Optimist Guide to Thriving in the Age of Accelerations. Penulis yang melakoni diri sebagai kolumnis di TNYT ini telah beberapa kali mendapat penghargaan Pulitzer serta melambung tinggi namanya lewat buku The World is Flat(tentu buku ini tidak ada kaitan dengan teori "bumi datar" itu). Lagi-lagi dalam buku terbarunya Friedman menyoroti tentang perubahan yang drastis telah terjadi pada dunia--kemudian dikenal dengan istilah 'disrupsi'.

'Disrupsi' pada KBBI diterangkan dengan makna 'hal yang tercabut dari akarnya'.  Kata itu pun banyak digunakan dengan analogi sebuah kelaziman dan sudah dimaklumi banyak orang tiba-tiba berubah drastis, lalu mengubah suatu tatanan. Friedman memberi contoh terpilihnya Trump sebagai Presiden AS yang di luar dugaan itu akan menjadi pemicu disrupsi di dunia dan ini sudah terlihat tanda-tandanya. 

Friedman memberi tanda untuk kita bersegera menghadapi era Big Data yang dapat mencerabut "akar" segalanya. Di dalam dunia penulisan, era ini sudah menerpa ketika para penulis baru lahir bertubi-tubi tanpa bergantung lagi pada kuasa media untuk menyiarkan tulisannya. Penulis-penulis itu lahir dari rahim internet dan dibidani oleh blog, situs, dan media sosial. 

Penulis-penulis tradisional boleh jadi hanya ternganga ketika rantai kehidupan mereka dari dunia tulis-menulis dikacaukan oleh situasi. Namun, kebanyakan mereka enggan berubah dan bergerak mengikuti irama zaman. Jadi, Friedman dengan judul bukunya seperti menyindir "terima kasih untuk Anda semua yang lamban", justru kami memiliki peluang lebih besar. Anda tidak panik maka kami akan banyak piknik.  

Para motivator boleh jadi akan semakin laku saja karena pada era disrupsi ini makin banyak orang yang memerlukan motivasi untuk bangkit dan mempertahankan diri atau eksistensinya. Namun, bagi para penulis, motivator itu adalah diri mereka sendiri, terutama terkait dengan kapasitas diri mereka yang mendorong kegiatan membaca, mencermati, dan meriset keadaan.

Penulis Kurang Panik itu ....

Kurang panik? Ya, bagaimana boleh Anda yang mengaku sebagai penulis kini tenang-tenang saja, atau sesekali hanya dapat mengeluh soal honor dan royalti. Sementara itu, anak-anak muda atau para senior yang cergas mampu menangguk rupiah dan dolar dari blog, situs, dan akun media sosial mereka, bahkan menjadikannya sebagai batu loncatan untuk karier mereka.

Mereka anak-anak muda itu memang telah bermutasi menjadi generasi panik sehingga karena itu mereka tidak pernah berhenti belajar, membaca, dan mengisi kapasitas tidak terpakai pada dirinya dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan informasi agar mampu menggagas perubahan. Kapasitas yang sering tidak terpakai itu adalah waktu. 

Jika saya hanya berpikir soal bayaran, tentu saya tidak akan berlelah-lelah menulis di Kompasiana ini. Namun, saya menjadikan Kompasiana adalah ajang mengasah pisau tanpa saya harus risau ada yang membacanya atau tidak, tetapi saya yakin pasti ada yang membacanya (Hehehe). Mengapa? Karena banyak tulisan saya lahir dari ekspresi kepanikan akan masa mendatang. Saya merasa lega setelah melepaskan kepanikan itu.

Saya panik akan tertinggal dan tertatih-tatih mengejar kecanggihan teknologi. Saya panik jika suatu saat tercipta aplikasi yang dapat menulis sendiri pemikiran seseorang--tanda-tanda ke arah itu dengan menggunakan kecerdasan artifisial sangatlah mungkin. Saya juga panik dan gelisah dengan keadaan negara dan bangsa ini yang mungkin kelak mendorong saya menjadi senator dan wakil rakyat dengan berpartai--ini bercanda, nggak usah dipercaya dulu.

Seperti pelajaran Friedman dalam buku anyarnya itu bahwa seorang penulis atau bloger menulis untuk menarik perhatian dan memengaruhi pembacanya dengan nilai-nilai yang diyakininya. Hidup saya sejak awal 1990-an sudah terpapar dengan dunia sastra dan tulis-menulis sehingga saya banyak menulis perihal tulis-menulis dan penerbitan dengan satu bingkai pemikiran yang saya yakini untuk memengaruhi orang lain. Namun, seiring waktu bingkai itu pun mengalami perubahan bentuk dan corak.

Saya kemudian sadar sekarang hidup pada era "kompor" maka itu saya menerima tawaran menjadi kolumnis di KRJogja.com dengan nama kolom Kompor Literasi (Komplit). Saya "dipaksa" menulis setiap Rabu dan Sabtu. Lalu, itu mendorong saya memosisikan diri sebagai "komporis" alias tukang kompor yang memang kekinian pada era kini.  Karena itu, dengan segala kepanikan melihat informasi dan peristiwa setiap hari, saya pun menulis apa pun yang sebagian besar dikaitkan dengan tema besar literasi. Saya berusaha untuk fokus dan konsisten, tetapi ada kalanya saya "nakal" untuk menuliskan hal lain di luar kepakaran saya, tetapi dengan sudut pandang yang saya yakini mampu dikuasai. 

Mengapa? Ketika menulis, ada alarm dalam diri yang mengingatkan saya untuk mampu menjawab semua komentar orang. Harus diusahakan jawaban itu adalah jawaban elegan, bukan sebuah perlawanan, peremehan, apalagi penistaan. Saya mengompori orang bukan untuk membakar, tetapi membuatnya terkejut dan bangkit segera. Dalam teori Daniel Coyle soal keberbakatan (The Talent Code), ia menyatakan bakat bermula dari ignition alias 'pengapian' yang sama maknanya dengan ngompori--saya jadi ingat dengan busi.

Ya, tanpa kepanikan maka saya akan terlambat merespons sesuatu, apalagi untuk bangkit. Kepanikan adalah busi untuk memercikkan api sehingga saya terlonjak dan sadar. Dan tentu, tentu, tidak semua kepanikan itu harus saya tuliskan karena seperti kata Friedman lagi dalam pelajarannya untuk menjadi seorang kolumnis atau bloger, saya harus mampu menimbang mana yang perlu saya tuliskan/sampaikan dan mana yang tidak perlu. Semuanya bergantung pada bingkai nilai-nilai yang saya pegang dan yakini. Energi pengapian saya harus disimpan, tidak perlu diumbar untuk sesuatu yang tidak perlu.

Penulis Kurang Piknik itu ....

Saya punya resep menstimulus ide untuk menulis itu lewat tiga aktivitas: banyak membaca, banyak berjalan, dan banyak bersilaturahmi. Meskipun penulis digolongkan sebagai makhluk soliter (senang menyendiri), itu menurut saya hanya terkait pada proses kreatifnya ketika menulis. Ia memang harus menutup dirinya dari pengaruh dunia luar, bahkan saat menulis, seorang penulis pun dapat mengabaikan suami/istri dan anak-anaknya jika bukan karena suatu hal yang genting dan penting.

Jadi, bukan berarti penulis itu seorang antisosial, apalagi pada zaman digital saat ini. Penulis harus banyak bepergian dan banyak bersilaturahmi sehingga ia terhindar dari cap "kurang piknik" yang sekarang menjadi makna konotatif tentang orang-orang yang kurang update terhadap informasi dan situasi.

Piknik itu bermakna bepergian ke suatu tempat di luar kota untuk bersenang-senang dengan membawa bekal makanan dan sebagainya. Karena itu, para penulis yang berpiknik harus keluar dari kota kejumudan; pergi dengan rasa senang; dan ini yang penting bawa bekal yang cukup. Hasilnya pastilah tulisan yang menarik/menyenangkan, menstimulus perubahan, dan mengandung kebenaran karena menggunakan bekal referensi yang valid.

***

Penulis kurang panik dan kurang piknik ada saja di negeri ini, bahkan makin bertambah banyak, tiada bedanya dengan roti. Ini tugas besar negara untuk mengentaskan para penulis Indonesia dari garis kurang panik dan kurang piknik. Jangan sampai penulis kurang panik dan kurang piknik ini membebani APBN. Hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun