Jika ada yang mengeluhkan begitu sulitnya ia mendapatkan ide untuk menulis pada masa kini, mungkin (maaf) sedang goblok--meminjam celetukan ala Iwan Fals. Ide bagi saya adalah penemuan, bukan pencarian. Secara spiritual, ide adalah karunia petunjuk yang setiap hari dicurahkan oleh Tuhan dari langit. Namun, jangan salah ide juga terbagi dua, yaitu ide KEBAJIKAN dan ide KEZALIMAN. Tuhan menurunkan ide kebajikan melalui malaikat-Nya; dan iblis menurunkan ide kezaliman melalui antek-anteknya.
Kehidupan kita saat ini sejatinya menjadi sungai ide yang deras mengalir sejak kita bangun tidur sampai tidur lagi. Bahkan, saat tidur ada orang yang menemukan idenya melalui mimpi. Itu boleh jadi berlaku saking banyaknya memori kehidupan tertanam di benaknya dan dalam tidur pun ia masih berpikir, hehehe.
Meski secara kesehatan katanya kurang baik, saya sering juga membawa buku ke tempat tidur, lalu membacanya sebelum tidur. Terkadang isi buku itu memang terbawa-bawa ke pikiran saya yang sudah dalam kondisi antara tidur dan tidak. Biasanya ada saja ide untuk menulis yang terlecut, tetapi saya simpan dulu untuk dieksekusi esok pagi.
Tapi, seperti tadi yang saya sebutkan ide itu ada di mana-mana kini. Ide adalah penemuan bukan pencarian. Ide mirip Jailangkung, mungkin juga Danur (hehehe), yaitu datang tidak diundang, pulang tidak diantar. Makanya ada saja orang yang bersua ide di kamar mandi, di ruang rapat, di tempat ibadah, di kantor pos, di bank, dan bahkan di kuburan. Ciri-ciri orang yang dapat ide biasanya kehilangan kesadaran sejenak, senyum-senyum sendiri, memelintir kumis (bagi yang punya kumis), mengelus-elus janggut (bagi yang punya janggut), atau terlihat bola lampu di atas kepalanya (bagi yang listriknya nggak nunggak).
Dukungan terhadap pertemuan ide ternyata makin hebat dengan smartphone di tangan kita. Kamera, perekam suara, dan note menjadi sarana yang memudahkan kita untuk mengikat ide, lalu melepaskannya lewat tulisan. Dukungan pun makin menjadi-jadi ketika ada media sosial untuk melepaskan semua ide di benak hanya dalam beberapa sentuhan. Alhasil, tidak jarang dari ide yang biasa-biasa saja, tercipta tulisan yang luar biasa.
Itu harapannya. Namun, kini manusia menghadapi serbuan ide bak air bah setiap hari, apalagi jika ia selalu online di media sosial. Setiap hari ada saja berita baru mengalir membawa ide. Ada Pansus KPK yang menyambangi para koruptor; ada Presiden Jokowi yang memboyong keluarga ke Turki dan Jerman; ada para pemimpin negara-negara G20 yang saling membuat cerita; ada Afi yang masih  membuat sensasi; ada penusukan pakar IT ITB yang menjadi "misteri"; ada mahasiswa dan alumni UI yang menggeruduk DPR-RI; ah ada macam-macam yang terus menggedor benak kita dan mengidekan untuk mengomentarinya setiap hari.
Euforia banjir ide dan kemudahan-kemudahan teknologi sering membuat seseorang luput berpikir sebagaimana mestinya. Lebih seringnya ia berimajinasi bahwa tulisannya akan diviralkan, di-like, disetujui, dikomentari, dan dia dianggap orang yang paling responsif terhadap keadaan umat dan dunia dewasa ini. Ia lupa berpikir untuk mencerna idenya, apakah harus ditelan saja bulat-bulat, dikunyah, atau dimuntahkan. Kadang-kadang cara-cara pintas pun dilakukan seperti copastulisan orang atau ikut-ikutan mengagihkan (sharing) tulisan dan gambar sambil menuliskan pengantar tanpa mikir.
Memang sampailah kita--Kita? eloe aja kali ...--ya, saya pada keadaan terlalu banyak ide, terlalu sedikit mikir. Tulisan-tulisan yang dihasilkan pun menjadi asal mikirdan asal susun.  Ada tulisan yang tidak jelas argumentasi, apalagi deskripsi, eksposisi, dan narasinya; yang jelas cuma persuasi ingin memengaruhi orang secara tergesa-gesa.  Jangan-jangan, ya jangan-jangan tulisan tadi adalah sebentuk kezaliman yang berujung dosa alih-alih niatnya hendak melawan kezaliman.Â
Tulisan itu jelas menggunakan perangkat kata-kata dan kadang dikuatkan dengan gambar yang hendak meyakinkan. Kini, tak lagi kita mengenal istilah tajamnya pena karena orang banyak sudah melesatkan kata-kata melalui keyboard atau keypad. Kata-kata itu sudah berubah menjadi mata panah yang tajam, bahkan dilumuri racun paling mematikan. Jika telah dilepaskan dari busur media, anak panah itu akan menancap dalam serta menimbulkan luka yang sulit disembuhkan.
Lalu, bagaimana hidup pada zaman Kalabendu ide ini? Tetap ingat pesan Cak Lontong, mikir. Pepatah lama kita juga menyebutkan "pikir itu pelita hati". Mikir dulu dan dirasakan dengan kalbu; atau dibalik, rasa-rasa dulu baru dipikirkan masak-masak. Artinya, kita memerlukan waktu, sejenak-dua jenak, mungkin lebih pas dalam keheningan, sebelum memutuskan untuk mengikat ide dengan menuliskannya. Andaipun sudah dituliskan, berhenti dulu sejenak-dua jenak. Baca kembali, pikir dan rasakan apakah pantas untuk disampaikan ke publik, atau cukup menjadi konsumsi diri sendiri.