Sebelum memohon maaf pada Tuhan, seorang penulis, ayah dari satu anak, memohon maaf kepada istri dan anak semata wayangnya. Ia memohon maaf karena sudah lima tahun mengabdikan diri menjadi penulis, tetapi belum kaya juga. Ia benar-benar merasa bersalah dan hampir saja berputus asa.
 "Tapi, Pak, mengapa si anu itu bisa kaya dari nulis?" tanya istri si penulis setelah menerima maaf suaminya.
 "Sstt ... dia itu dibayar untuk menuliskan 'kebetulan' menjadi 'kebenaran' ...."
 "Lha, kok Bapak ndak bisa seperti dia?"
 "Aku malu sama Tuhan, Bu ...."
 "Apa Bapak ndak malu sama Tuhan kita masih kere begini?"
Penulis itu pun tercenung. Lima tahun termasuk waktu yang lama untuk tidak dapat membeli impiannya membahagiakan anak istri. Sebentar lagi 2018 dan itu saat yang tepat untuk "menjual" dan "menjajal" kemampuan menulisnya apabila ia ingin masuk arus pertarungan politik, menjelang 2019 tentunya.
 Ia pun bersimpuh pada malam hari dan berdoa.
"Maaf, Tuhan, saya penulis yang belum kaya. Tolonglah beri petunjuk bagaimana dapat kaya dari menulis? Apakah hamba harus menuliskan 'kebetulan' menjadi 'kebenaran' demi uang, lalu bertobat kepada-Mu? Apakah Engkau akan memakluminya ya, Tuhan ...?"
Dua Persoalan
Tuhan mungkin menjawab pertanyaan penulis malang itu, mungkin juga tidak. Saya tentu tidak tahu karena memang bukan Tuhan. Namun, soal penulis yang mengeluhkan ia tidak mendapatkan penghasilan memadai dari karya tulisnya, itu sudah sering saya dengar dan baca.Â
Ada dua persoalan yang mengungkung pikiran dan perasaan si penulis yang merasa belum atau tidak dapat kaya menurut saya.
Pertama, karena kapasitas si penulis memang tidak pernah bertambah dari tahun ke tahun. Ia tidak menambahnya karena ia juga tidak tahu tujuan menulis untuk apa. Â Bahkan, ia tidak dapat menjawab pertanyaan apa pentingnya ia mampu menulis dan dapat hidup dari menulis. Pada titik tertentu, ia malah tidak dapat menakar berapa sebenarnya harga karyanya yang pantas diberikan karena ia tidak mengenali dirinya sendiri sebagai penulis dengan sangat baik.
Kedua, karena si penulis terbatas pandangannya terhadap dunia tulis-menulis. Boleh jadi karena kapasitas menulisnya memang belum memadai atau ia hidup masih seperti katak di bawah tempurung.Â
Jadi, urusan menulis bukan soal menjadi penulis bayaran yang distir oleh pihak lain (yang membayar tentu saja) atau menjadi penulis independen yang bebas bersuara meski tidak dibayar. Di Kompasiana ini kita menulis tanpa bayaran, kecuali mengikuti sayembara dan beruntung menjadi juara. Dorongannya juga macam-macam. Ada yang demi eksistensi, ada juga yang demi menunaikan keinginan untuk berbagi, ada yang demi melatih diri, serta ada juga yang sekadar hobi atau kesenangan.
Jika seseorang mulai berfokus bahwa 'menulis' adalah jalan hidupnya atau panggilan jiwanya--bukan karena ia gagal di bidang lain dan menjadi pelarian--, kedua persoalan tadi harus menjadi perhatiannya. Ia harus membebaskan dirinya.
Ia harus memilih mau menjadi penulis spesialis atau penulis generalis mengingat begitu banyak ranah dan laras tulisan yang dapat ia masuki. Sebut saja ada ranah bisnis, ranah akademis, ranah jurnalistik, dan ranah sastra. Seorang penulis dapat saja bermain pada banyak ranah dan sah saja ia hanya memilih fokus pada satu ranah.
Panggilan jiwanya akan menentukan si penulis menyusun visi dan misi pribadi di bidang tulis-menulis. Berhitung dengan waktu, ia akan menetapkan suatu target dan mengenali apa yang menjadi kekuatan-kekuatan pendukungnya (driving force) untuk mencapai tujuan target tersebut. Ya, menjadi penulis atau profesi lainnya sama seperti mengelola 'perusahaan' yang berada dalam diri si penulis sendiri. Ia harus menunjukkan kemajuannya dari waktu ke waktu dan mengevaluasi diri apakah ia makin dekat dengan visi dan misinya atau malah makin menjauh.
Untuk soal kedua, ini terkait meluaskan pandangan tentang dunia tulis-menulis. Sering saya kemukakan bahwa tidak ada satu bidang pun di dunia ini yang dapat lepas dari tulis-menulis. Tulis-menulis tidak hanya terbatas pada media, baik itu media massa cetak, media massa elektronik, ataupun media buku. Produk tulisan dibutuhkan hampir semua bidang dan ingat bahwa tidak semua orang di bidang itu mampu untuk menulis.
Di sinilah kemudian seorang penulis harus berubah dari penulis mandiri menjadi penulis jasa. Penulis mandiri hanya menghasilkan karya mandiri untuk dirinya sendiri dengan mengirimkannya ke media, lalu menunggu dan syukur-syukur dapat diterima. Adapun penulis jasa akan memasarkan sekaligus menjual kemampuan untuk membantu orang lain atau organisasi, baik kecil maupun besar. Penulis jasa ini yang kemudian sering berperan sebagai penulis bayangan (ghost writer), penulis pendamping (co-writer), dan editor. Mereka tidak lagi perlu menunggu karyanya dimuat karena mereka bekerja untuk suatu karya yang memang akan dimuat atau dipublikasikan.Â
Seorang penulis untuk menjaga cash flow keuangan diri dan keluarganya dapat saja melakoni keduanya yaitu menjadi penulis mandiri sekaligus penulis jasa. Banyak contoh seperti ini yang sudah berhasil, hanya para penulis di jalur ini tidak terlalu ingin diekspose tentang pekerjaannya, apalagi pendapatannya. Mereka tetap berpegangan pada sifat sebagai makhluk soliter yang senang bekerja sendiri dan tanpa hiruk pikuk seperti penulis-penulis selebritas.
Penulis-penulis selebritas selain lahir karena ketekunan dan kegigihan mereka menghasilkan karya, umumnya di ranah fiksi, mereka juga sangat dekat dengan keberuntungan. Dari ribuan novel yang terbit di Indonesia, hanya 1% yang dapat mencuri perhatian atau kemudian difilmkan. Sisanya yang banyak itu tak bergema. Itulah mengapa jalur fiksi ibarat laut merah bagi para penulis; berdarah-darah mengarunginya.
Jalur Lain
Memang para penulis yang sudah "jadi"  atau "setengah jadi" sering mendapat tawaran jalur lain yaitu menjadi buzzer ataupun menjadi pasukan digital untuk perseorangan atau untuk organisasi tertentu. Kepentingannya bermacam-macam seperti untuk promosi produk/jasa atau juga pencitraan. Terkadang tidak penting benar mereka yang direkrut dapat menulis dengan baik atau tidak karena ranah mereka adalah ranah digital di media sosial yang audiensinya beragam. Cukup mereka mampu menarik perhatian orang untuk membaca atau mengeklik tautan. Beberapa yang jagoan menulis akan diterjunkan untuk membentuk opini. Ini juga ranah para penulis jasa (bayaran), tetapi berpulang pada diri si penulis apakah pekerjaan itu sesuai dengan prinsip atau nilai-nilai yang dipegangnya atau tidak.Â
Bayangkan seorang buzzer diminta untuk menguatkan merek sebuah produk susu, padahal ia sendiri tidak suka minum susu. Namun, demi tuntutan profesi sebagai penulis jasa, ia pun akan "mengarang" cerita tentang susu adalah bagian dari hidupnya dan keluarganya. Kembali hal ini berpulang pada sang penulis sendiri terkait prinsip dan nilai-nilai yang dipegangnya--apakah ia cukup fleksibel untuk menerima pekerjaan menulis apa pun tanpa harus dikaitkan dengan pribadinya.
Jadi, kesimpulannya jalan kaya bagi para penulis itu terbentang lebar bergantung pada pilihan. Namun, tentu saja menempuh jalan itu harus dengan proses karena bagaimanapun menulis adalah pekerjaan yang terkait dengan pikiran, perasaan, seni, dan intuisi. Tidak semua orang berhasil melalui proses itu sehingga ia mencapai taraf menikmati pekerjaan menulis seperti pematung mengubah sebongkah batu gunung menjadi berbentuk sesuatu yang mencengangkan.Â
Penulis-penulis instan juga sebuah fenomena kini. Mereka lahir dari rahim kepraktisan dan kemalasan sehingga wajar jika tidak akan mencapai taraf menerima bayaran ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah hanya untuk satu lembar tulisan. Tidak pula, penulis instan itu, akan mencapai taraf tulisannya memiliki pengaruh begitu kuat sehingga ribuan, bahkan ratusan ribu orang menerimanya sebagai suatu kebenaran.Â
***
Kembali pada doa si penulis dan permohonan maafnya kepada Tuhan. Tulisan itu sejatinya adalah karya sekaligus amalan sehingga Tuhan akan memberi ganjaran ketika karya itu diniatkan untuk kemaslahatan. Tulisan-tulisan yang baik yang dialirkan sepanjang waktu oleh seorang penulis ada doa dan amal yang tiada terputus sehingga tidaklah perlu risau akan rezeki. Jadi, kita hanya perlu minta maaf kepada Tuhan ketika insaf dan tobat bahwa tulisan kita ternyata lebih banyak menyesatkan daripada mencerahkan. Namanya juga manusia, tak ada tulisan yang tak retak.
Salam Idulfitri![]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H