Saat seseorang menuliskan tentang dirinya di medsos, boleh jadi orang itu tengah mempersepsikan dirinya apa adanya; atau orang itu bermaksud menggiring persepsi orang tentang dirinya yang lain karena yang dia tuliskan sejatinya bukan sebuah kejujuran tentang dirinya. Di media sosial, semuanya memang dapat terjadi. Antara kebenaran dan ketidakbenaran membaur menjadi informasi yang semu bagi kita.
Menulis tentang diri sendiri sederhananya risiko ditanggung sendiri. Namun, menulis tentang orang lain, risiko dapat berimbas kepada orang itu, bahkan menjalar luas kepada keluarga dan sanak saudaranya. Inilah yang sering kali terjadi di media sosial. Sebuah informasi menjadi bias dan merugikan orang lain---menggelisahkan ketika kita menyadari justru ikut andil di dalamnya.
Persepsi itu berbahaya, bahkan jika kita mengikuti persepsi umum sekalipun ketika kita tidak tahu sebenarnya apa latar belakang seseorang melakukan sesuatu. Hal ini digambarkan Stephen Covey, penulis buku laris 7th Habits for Highly Effective People, lewat sebuah cerita di dalam bukunya itu.
Covey mengisahkan ketika Minggu pagi ia menumpang kereta bawah tanah di New Yorok. Â Para penumpang duduk tenang, beberapanya membaca koran, dan beberapa lagi melamun serta ada yang menyandarkan dirinya untuk sekadar menutup mata. Suasana begitu tenang dan damai.
Lalu, tiba-tiba seorang pria dan anak-anaknya masuk ke gerbong kereta. Anak-anak itu bersuara keras dan ribut sekali. Sontak suasana tenang dan damai tadi berubah. Bapak anak-anak itu duduk di samping Covey dan memejamkan matanya seperti tidak peduli akan apa yang terjadi. Anak-anaknya pun makin menjadi-jadi, melempar barang, bahkan merampas koran yang sedang dibaca seorang penumpang.
Persepsi Covey sama dengan kebanyakan orang lain. Ia merasa pria yang menjadi bapak anak-anak ini tidak responsif terhadap apa yang terjadi. Covey mengalami kegelisahan sekaligus kegusaran sehingga tidak tahan lagi untuk menegur meski mencoba mengendalikan dirinya secara luar biasa, "Pak, anak-anak Anda sangat mengganggu orang. Apakah Anda tidak bisa sedikit pun mengendalikan mereka?"
Pria itu mengangkat dagunya seolah-olah tersadar untuk kali pertama dengan keadaan sekitarnya. Ia berkata perlahan, "Anda benar, Pak. Saya memang harus melakukan sesuatu. Tapi saya bingung. Kami baru saja pulang dari rumah sakit. Ibu mereka telah meninggal satu jam yang lalu. Saya tidak tahu lagi mau bagaimana dan mereka pun saya kira juga tidak tahu bagaimana menghadapi hal ini ...."
Kisah yang disebut Covey menyebabkan pergeseran paradigma kecil itu benar-benar mengubah drastis persepsi Covey terhadap si pria dan anak-anak itu. Berubah dari rasa jengkel dan sedikit amarah menjadi simpati dan empati luar biasa.
Orang-orang lain di luar kita memang terkadang melakukan sesuatu secara drastis di luar nalar kita sebaga orang awam ketika mereka menghadapi krisis yang mengancam. Dalam film Fate of the Furious (Fast & Furious 8), tokoh Dom tiba-tiba berbalik melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran setelah bertemu seorang wanita. Penonton dibuat bertanya-tanya mengapa Dom tiba-tiba malah berada di sisi gelap yang membahayakan dunia. Di pertengahan cerita, barulah persepsi penonton digeser ketika Dom dikisahkan menghadapi ancaman. Mantan kekasih dan anaknya akan dibunuh jika ia tidak mengikuti perintah.
Dalam kehidupan nyata kita mendapatkan beragam informasi dan peristiwa dari media sosial. Ada orang yang kali pertama mengunggahnya dan ingatlah bahwa orang itu mengunggah dengan persepsinya. Lalu, kita terpengaruh. Ikut berkomentar dan menyebarkan. Celakanya komentar kita adalah komentar negatif dengan menggunakan persepsi berdasarkan informasi seadanya. Kita sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang peristiwa dan orang yang dikomentari itu, bahkan tidak mengenalnya.
Medsos memberikan pancingan untuk kita berkomentar tentang status yang dituliskan oleh orang lain tentang dirinya atau tentang orang di luar dirinya. Pancingan itulah yang sering kali menggerakkan persepsi awam kita. Tanpa pikir panjang, kita berkomentar, membagikan, ataupun menulis status baru tentang informasi dan peristiwa yang tidak kita terima dan ketahui secara utuh itu.
Saya mengambil contoh kejadian yang saya alami sendiri ketika ada penulis buku anak yang dicerca sedemikian rupa di medsos karena bukunya yang terbit berkonten tidak patut. Orang tidak mau tahu apa latar belakang si penulis menulis buku itu dan bagaimana prosesnya. Saya hampir terpancing dengan persepsi saya untuk turut juga menghakimi si penulis, tetapi karena saya mengenalnya maka saya mengumpulkan informasi terkait buku itu. Alhasil, saya dapat menyampaikan persepsi saya di dalam rapat pemerintah yang membahas tentang itu. Saya tidak katakan persepsi saya objektif, tetapi saya ingin menunjukkan bahwa sangkaan orang terhadap si penulis tidak semuanya benar.
Sulit rasanya untuk dapat menahan diri dari berkomentar tentang peristiwa yang lagi "in" karena menyangkut kekinian dan menyangkut juga harapan kita terhadap pandangan orang lain tentang diri kita. Makanya "permainan" persepsi adalah perang para prajurit media sosial yang memang disiapkan khusus untuk itu: menggeser persepsi orang dari kebenaran.
Saya kira penyadaran tentang persepsi ini juga sudah sering diingatkan dan ditulis oleh orang lain. Bagi saya pribadi, menimbang aktivitas di media sosial sangatlah berharga untuk menyehatkan persepsi saya, terutama terkait respons terhadap sesuatu. Umpan-umpan pancingan mulai tidak berselera saya makan begitu saja. Saya lebih memilih "berbaik sangka" tentang tabiat orang-orang yang tiba-tiba melakukan keburukan dan disebarkan di media sosial---boleh jadi mereka tengah mengalami sesuatu yang mengguncang hidupnya meskipun tidak seluruhnya menjadi alasan pembenaran sikapnya.
Ranjau persepsi ini yang makin banyak ditebar di media sosial dan juga portal-portal berita "abal-abal", bahkan juga portal berita resmi dapat juga memainkan persepsi yang keliru karena persepsi jurnalisnya juga keliru.Â
Nah, opini adalah buah dari persepsi dan kadang menjadi ukuran kadar wawasan kita. Malu kita ketika dituliskan ternyata itu tidak benar (karena salah data, salah fakta, dan salah sangka) sehingga buru-buru kita meminta maaf. Namun, yang sudah dimuntahkan itu pasti berbekas dan tetap berbau. Maka saya memilih untuk tidak sengaja memualkan diri dengan persepsi dari orang lain sebelum mengecek betul kebenaran dan kepatutannya, sekaligus kepentingannya jika saya beropini tentang hal tersebut.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H