Dikotomi LIPI dan Dikti
Dari sisi standardidasi saja, kita tidak dapat memungkiri adanya dikotomi antara LIPI (Ristek) dan Dikti. Kalangan widyaiswara dan peneliti di kementerian berkiblat ke LIPI, tetapi kalangan dosen dan peneliti di perguruan tinggi berkiblat ke Dikti. Ketika ada upaya untuk melakukan akreditasi penerbit ilmiah yang dipelopori LIPI, kalangan APPTI bersikap wait and see--tidak menolak versi LIPI, tetapi tidak juga mengamini. Justru di sini peran Kemenristek Dikti untuk menyatukan upaya standardisasi ini agar buku-buku ilmiah yang terbit di Indonesia mempunyai satu mekanisme pengendalian mutu yang sama, tidak terjadi dikotomi.
Untungnya, saya "orang luar" yang bebas berbicara. Ya, saya dapat berada di APPTI dan kali lain saya juga dapat berada di LIPI. Saya mengkritik juga hal-hal yang sebenarnya "sepele" seperti pembedaan buku ajar dan buku teks dalam versi Kemenristek Dikti dalam program hibah buku teks dan insentif buku ajar. Program ini tiap tahun diadakan. Definisi buku ajar adalah buku yang dipergunakan langsung dalam pembelajaran dan berbasis silabus. Adapun buku teks adalah buku yang dipergunakan sebagai penunjang/pelengkap atau pengayaan pembelajaran. Adapun dalam terminologi perbukuan untuk buku-buku universitas dikenal text book (buku teks) dan scientific book (buku ilmiah).Â
Kalau LIPI berbeda lagi, ada yang disebut buku ilmiah dan ada buku ilmiah populer. Pembedanya hanya dari sisi penyajian dan pembaca sasaran.
Nah, istilah-istilah seperti ini meskipun terlihat sepele, sebaiknya dibakukan. Di UU Sisbuk, Indonesia tidak lagi menganut definisi buku dari segi halaman. Namun, beberapa lembaga masih menganut definisi Unesco bahwa buku adalah lembaran-lembaran tercetak, tidak berkala, dan berjumlah >49 halaman. Karena itu, Kemenristek Dikti buat acuan buku ajar itu minimal >49 halaman. Jika dengan kelipatan 8 (sesuai dengan pembagian halaman buku), berarti minimal 56 halaman. Sebuah buku ajar perguruan tinggi dengan tebal hanya 56 halaman, rasanya terlalu tipis.
***
Saat sesi tanya jawab workshop APPTI, salah seorang guru saya, Frans M. Parera, yang juga tokoh editor di Indonesia berkata, "Kalau di Jerman, profesor itu baru merasa bangga dan diakui karena ia berhasil menulis buku anak-anak dan anak-anak itu memahami serta menyukainya." Buku anak? Ya, tidak mengherankan karena Romo Mangung (Y.B. Mangunwijaya) pernah berkata, "Di dalam ranah tulis-menulis yang paling mudah--di ujung ekstremnya--adaah menulis skripsi; sedangkan yang paling sulit adalah menulis cerita anak." Jadi, kalau ada university press menerbitkan buku anak dan itu ditulis oleh guru besar atau rektornya, itu baru luar biasa. Presiden Barack Obama saja menulis buku anak, masa kita kalah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H