Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Literasi "Hangat-hangat Tahi Ayam"

6 Mei 2017   12:29 Diperbarui: 7 Mei 2017   10:05 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita ambil contoh program literasi yang dicanangkan Kemendikbud yang disebut Gerakan Literasi Nasional dan diturunkan menjadi Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Keluarga, Gerakan Literasi Bangsa, dan Gerakan Literasi Masyarakat. Pemecahan gerakan ini boleh jadi membingungkan sehingga setiap direktorat juga melaksanakannya secara parsial. Gerakan literasi hanya berdengung di Kemendikbud, tidak di kementerian lain.

Memang ini perlu campur tangan Presiden untuk membuat satu gerakan atau program "bernama" yang berlaku secara nasional (satu, utuh, terpadu) dan melibatkan lintas kementerian serta badan. Ambil contoh Singapura punya program bernama READ! yang dicanangkan pada 2011. Uni Emirat Arab mengesahkan UU Buku yang memaksa semua PNS untuk membaca buku dan program membagikan paket buku untuk bayi yang baru lahir. Paket itu berisi buku yang dibacakan sampai anak berusia dua tahun. Negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand juga memiliki cetak biru untuk program literasi yang sedang digiatkan pemerintahnya serta mereka telah memiliki badan khusus menangani soal perbukuan. Pendeknya, negara-negara itu tengah bersusah payah menyiapkan generasi literat mereka secara nasional.

Sewaktu Panja RUU Sisbuk Komisi DPR-RI mendesak di dalam RUU ada pasal dibentuknya badan atau lembaga perbukuan setingkat kementerian, Pemerintah bergeming atas alasan efisiensi dan amanat Presiden Jokowi untuk tidak lagi membentuk lembaga pemerintah nonstruktural seperti badan. Tapi, Presiden Jokowi malah sempat berencana mendirikan Badan Saiber Nasional baru-baru ini. Penting mana kira-kira, Badan Perbukuan Nasional atau Badan Saiber Nasional? Jika yang dimaksud adalah memerangi salah satunya hoax, daya literasilah yang sebenarnya harus dikuatkan pada masyarakat.

Nah, kegiatan-kegiatan literasi ini memang parsial buntutnya. Di Kemendikbud ada Pusbuk yang dibentuk dengan Keppres, tetapi kemudian disatukan dengan Puskur pada era Menteri M. Nuh sehingga menjadi Puskurbuk. Padahal, Pusbuk dipersiapkan menjadi lembaga yang mengoordinasikan seluruh kegiatan perbukuan secara nasional. Sebelum Pusbuk, dibentuk Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) yang nonstruktural. Pada saat Kongres Perbukuan Nasional I 1995, telah diusulkan BPPBN dilebur ke dalam Pusbuk, lalu dibentuk Badan Perbukuan Nasional atau Direktorat Perbukuan yang dipimpin pejabat eselon I di bawah Depdikbud. Tapi, usul ini tidak pernah terealisasi. Sejak disatukan dengan Puskur, fungsi perbukuan di Puskurbuk sudah tidak efektif lagi karena direktorat lain tidak harus berkoordinasi dengan Puskurbuk untuk menjalankan program atau proyek buku.

Setelah reformasi, Presiden Habibie membentuk Dewan Buku Nasional untuk mendukung Reformasi Perbukuan. Dewan yang dipimpin langsung oleh Presiden dan beranggotakan para menteri ini lalu dibubarkan pada era SBY karena dianggap tidak efektif. Sejak itu, ide kelembagaan perbukuan menjadi tak lagi populer. 

Langit perbukuan dan literasi dirasakan tampak cerah ketika Indonesia dipilih menjadi tamu kehormatan dalam ajang Frankfurt Book Fair 2015. Pasalnya, ini dapat menjadi momentum menarik perhatian pemerintah terhadap literasi dan perbukuan. Kemendikbud lalu membentuk Komite Buku Nasional (KBN) langsung di bawah Sekjen (sebelumnya Pusbuk juga berada di bawah koordinasi Sekjen dan bertanggung jawab langsung ke Mendikbud) untuk persiapan ini. Pasca-FBF, KBN ternyata diteruskan sebagai lembaga nonstruktural yang diisi oleh orang swasta (non-PNS) dan di antara programnya adalah penerjemahan buku lokal  ke dalam bahasa asing, pameran di luar negeri, serta residensi (pemberian bea siswa) kepada para penulis untuk melakukan riset di luar negeri. 

Lalu, ada lagi Badan Bahasa dan Perpusnas RI yang juga memiliki program literasi (penerbitan, penghargaan, pelatihan). Bahkan, Badan Bahasa juga menyelenggarakan program penerjemahan yang mirip dilakukan KBN. Nah, belum lagi kita bicara Bekraf yang juga memiliki kepentingan memajukan industri perbukuan sebagai salah satu dari 16 subsektor industri kreatif. Baru-baru ini Bekraf juga menginisiasi berdirinya Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) dan juga memfasilitasi pameran buku di luar negeri.

Walaupun begitu, industri perbukuan tidak masuk ke dalam subsektor prioritas dan subsektor unggulan Bekraf. Wajar, karena Bekraf melihat dari kontribusi ekonominya. Industri perbukuan sendiri berkembang stagnan beberapa tahun ini dan pendapatan terbesar masih diperoleh dari proyek pemerintah. Lebih jelas lagi bahwa industri perbukuan tidak memiliki arah yang jelas untuk dikembangkan.

Tumpang tindih program literasi hanya akan menghabiskan energi berikut dana pemerintah, tetapi tidak memiliki satu hasil yang jelas. Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan riset literasi untuk 34 provinsi. Basis riset ini yang dapat digunakan untuk membuat rencana aksi. Sebenarnya UU Sisbuk yang segera disahkan Pemerintah dapat menjadi acuan rencana aksi secara garis besar. Namun, tetap kita membutuhkan data. Data yang selalu jadi "hantu" dalam perbukuan Indonesia (bukan setan perbukuan). Berapa jumlah buku yang terbit per tahun? Berapa jumlah penerbit Ikapi dan non-Ikapi? Berapa jumlah penulis? Berapa jumlah buku anak yang terbit? Daerah mana yang paling parah daya literasinya?

Minat baca kita ditengarai rendah atau minat membelinya kurang? Tapi, kita terkaget-kaget ketika perusahaan negara jiran menggelar bazar buku bertajuk Big Bad Wolf di Jakarta dan Surabaya. Ribuan orang datang selama 24 jam dan rela mengantre berjam-jam untuk membeli buku-buku asing yang diobral itu. Lho, kok bisa begitu? Meneketehe kalau tidak ada data.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun