Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

IIBF 2016: Mengerling Perbukuan Malaysia

27 September 2016   08:04 Diperbarui: 27 September 2016   15:33 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah Arab Saudi dan Korea Selatan, kini giliran Malaysia menjadi tamu kehormatan (guest of honour) di ajang Indonesia International Book Fair (IIBF) 2016. Event tahunan yang diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia ini digelar di Assembly Hall Jakarta Convention Center pada tanggal 28 September-2 Oktober 2016. Tema yang diusung tahun ini adalah Art & Culture.

Ada hal menarik bahwa negeri jiran kita, Malaysia, menjadi tamu kehormatan. Selain tentunya Malaysia akan berpromosi tentang buku-buku karya sastrawan mereka, ajang ini menjadi kesempatan mengenalkan "kekuatan" perbukuan Malaysia kepada publik Indonesia. Bagi kita di sini tentu juga dapat membandingkan apakah kemajuan perbukuan Malaysia dari sisi konten dan konteks telah mampu menyaingi Indonesia.

Bukan lagi menjadi rahasia bahwa banyak buku hasil karya penulis dan penerbit Indonesia dibajak di Malaysia. Produktivitas dan kreativitas penulis dan penerbit buku di Indonesia tampaknya mencengangkan bagi Malaysia, terutama buku-buku agama Islam. Karena itu, Indonesia menjadi kiblat dalam penulisan dan pengemasan buku. Namun, tentu kelengahan kita menjadi keberuntungan bagi mereka untuk belajar banyak tentang Indonesia, terutama dari sisi Pemerintah Malaysia yang sangat peduli dalam soal pembangunan literasi dan perbukuan di negaranya.

Kita patut mengerling juga perbukuan atau keliterasian negara ini karena Malaysia berada pada peringkat ke-53 negara paling literat menurut kajian Central Connecticut State University (CCSU)--Indonesia sendiri berada pada urutan ke-60 dari 61 negara. Dalam peringkat pendidikan yang dikeluarkan PISA, Malaysia juga berada jauh di atas Indonesia.

Dua negara lain di luar Malaysia yaitu Singapura dan Thailand memang berambisi menjadi yang terdepan dalam soal literasi di ASEAN. Walaupun demikian, sejarah telah mencatat bahwa pada tahun 2015, Indonesia-lah negara ASEAN pertama yang mendapat kehormatan menjadi guest of honourpada perhelatan buku terbesar di dunia yaitu Frankurt Book Fair 2015. Semestinya momentum tersebut mampu melejitkan potensi daya literasi bangsa Indonesia, terutama dalam hal membaca dan menulis untuk tahun-tahun ke depan. Semestinya, kita mampu lebih unggul daripada Malaysia.

Seriusnya Perbukuan Malaysia

Akan tetapi, Indonesia memang patut iri kepada Malaysia karena kehadiran negara terasa sekali dalam pembangunan perbukuan mereka. Selain memiliki badan perbukuan bernama Majlis Buku Kebangsaan Malaysia (MBKM) yang berdiri tahun 1968, Malaysia juga memiliki badan independen lainnya bernama Institut Terjemahan Buku Malaysia (ITBM) dan Kota Buku.

ITBM didirikan demi memberi akses penerjemahan karya-karya penulis Malaysia ke dalam bahasa lain, begitu pula sebaliknya menerjemahkan karya-karya berkualitas dari berbagai negara ke dalam bahasa Malaysia. Pihak Kerajaan Malaysia menggelontorkan RM5 juta kepada ITBM sejak tahun 2002 (setara dengan Rp16 M) yang disalurkan secara bertahap selama dua tahun untuk membantu penerbitan buku, terutama karya penulis muda dalam semua genre. Jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah dukungan terhadap literasi serta penerbitan.

Berbeda halnya dengan Kota Buku yang didirikan untuk tujuan persiapan Malaysia mengadopsi teknologi digital di dalam dunia perbukuan demi menyiapkan buku masa depan untuk Generasi Z. Program yang baru saja mereka luncurkan adalah layanan unduh gratis buku digital di Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Pengunjung KLIA yang membawa gawai dapat mengunduh berbagai buku digital secara gratis.

Jadi, negara tetangga kita ini memiliki tiga badan independen di bawah pemerintahnya yang mengurusi masalah keliterasian dan perbukuan, di luar asosiasi penerbit. Selain itu, penyelenggaran Kuala Lumpur International Book Fair (KLIBF) dilakukan dengan sangat profesional. KLIBF diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Malaysia yang menunjuk MBKM sebagai penanggung jawab. Tahun 2015, KLIBF telah mencapai penyelenggaraan yang ke-34.

Keberhasilan lain dalam soal literasi adalah bagaimana negara ini mampu menciptakan "karakter" untuk dunia anak yang kemudian mendunia. Sebut saja seperti Upin dan Ipin serta BoBoiBoy. Karakter ini kemudian muncul dalam berbagai bentuk media selain buku, bahkan penerbit Indonesia termasuk yang mengakuisisi hak cipta penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. 

Langkah Berbenah Melampaui Malaysia

Saat Ikapi sedang disibukkan menjadi tuan rumah yang baik dalam event IIBF, di ruang sidang Komisi X DPR-RI sejak Agustus hingga diperkirakan sampai Oktober 2016 disibukkan dengan pembahasan RUU Sistem Perbukuan (Sisbuk). Tanggal 20 September 2016, DPR-RI sempat mengadakan jumpa pers di Press Room terkait dengan kemajuan pembahasan RUU Sisbuk. Hadir pada saat itu adalah anggota Komisi X FPG DPR-RI Prof. Dr. Noor Ahmad dan Kartini Nurdin mewakili Yayasan Obor Indonesia. Prof. Noor menyampaikan bahwa RUU Sisbuk ini sudah terlampau lama dalam pembahasan dan DPR menargetkan selesai pada akhir tahun 2016.

RUU Sisbuk memang pekerjaan lama yang tidak kunjung selesai. Bahkan, UU Perpustakaan lebih dulu keluar daripada UU Sistem Perbukuan (Sisbuk). Menelusuri sejarahnya, di Indonesia pernah berdiri Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) melalui Keppres No. 5 Tahun 1978. Tugas BPPBN adalah melakukan berbagai kajian dan merumuskan konsep-konsep kebijakan di bidang perbukuan nasional. Badan ini pulalah yang melakukan kajian perbukuan secara nasional dan mengidentifikasi perlunya undang-undang untuk mengatur perbukuan secara nasional. Tahun 1997, BPPBN menyusun draf awal UU tentang perbukuan nasional, tetapi tidak ditindaklanjuti sampai Badan ini dibubarkan. 

Pada tahun1987 pemerintah melalui Keppres No. 4 Tahun 1987 membentuk Pusat Perbukuan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fungsi dari Pusat Perbukuan ini adalah untuk mengembangkan buku-buku pendidikan, mendorong industri perbukuan, dan melanjutkan upaya membuat Rancangan Undang-Undang Sistem Perbukuan. 

Namun, sebelum UU tersebut berhasil disusun, Pusat Perbukuan tersebut disatukan dengan Pusat Kurikukulum menjadi Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) dengan lingkup kerja yang semakin sempit. Puskurbuk tersebut sekarang lebih banyak melaksanakan penilaian buku-buku pendidikan untuk digunakan di sekolah atau menjadi koleksi perpustakaan.

Tahun 1995 diselenggarakan Kongres Perbukuan I atas inisiatif Pusat Perbukuan Depdikbud, lalu tahun 1998 Ikapi juga menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional. Kedua kegiatan itu merekomendasikan dibentuknya Dewan Buku Nasional (DBN). Akhirnya, Dewan Buku Nasional dibentuk melalui Keppres No. 110 Tahun 1999 pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Keppres tentang BPPBN tahun 1978 dinyatakan tidak berlaku.

Akan tetapi, lagi-lagi DBN dibubarkan Pemerintah sendiri pada tahun 2014 karena dianggap tidak mampu memainkan peranan sesungguhnya dalam pembangunan perbukuan nasional. Di dalam RUU Sisbuk, wacana munculnya Dewan ini kembali dihidupkan dengan alasan sebenarnya bukan keberadaan lembaga itu yang salah, melainkan kelemahan mungkin sekali terletak pada struktur organisasi, pembiayaan, dan juga manusia yang mengelolanya. Berkaca dari negeri jiran dan negara lainnya di ASEAN, mereka semua mampu mempertahankan badan perbukuannya dan bekerja sebagaimana mestinya. 

Hal yang terkini di Indonesia adalah dibentuknya Komite Buku Nasional (KBN) di bawah langsung Mendikbud yang merupakan kelanjutan dari terpilihnya Indonesia sebagai guest of honour di Frankfurt Book Fair. KBN melanjutkan program hibah penerjemahan buku dan juga melaksanakan program Residensi Penulis Indonesia di luar negeri. Sepuluh orang penulis Indonesia telah terpilih untuk melakukan penelitian di beberapa negara, yaitu Belanda, Prancis, Amerika, Jepang, dan Filipina.

***

Indonesia International Book Fair 2016 selain merefleksikan kemajuan perbukuan negara jiran Malaysia, juga merefleksikan kemajuan perbukuan Indonesia sendiri. Event kali ini rencananya akan dibuka Mendikbud Muhadjir dan juga dihadiri oleh menteri pendidikan Malaysia serta puluhan orang delegasi dari Malaysia. Mengerling sejenak pada kemajuan perbukuan Malaysia, paling tidak mendorong kita untuk berbenah menyongsong diberlakukannya UU Sistem Perbukuan. Indonesia punya PR besar dalam soal literasi. Akan percuma kebanggaan pernah menjadi guest of honour Frankfurt Book Fair jika daya literasi kita justru yang terendah di antara negara-negara ASEAN lainnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun