Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Misteri Penentuan Harga Buku

7 Agustus 2016   11:02 Diperbarui: 7 Agustus 2016   21:26 1599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku berharga Rp6.000? Memangnya masih ada? Seperti kemarin kala singgah di sebuah toko buku, saya menemukan buku Risalah Tuntunan Shalat Lengkap karya Drs. Moh. Rivai yang kali pertama terbit tahun 1976. Ada dua ukuran buku yaitu satu ukuran A5 dan satu ukuran saku A6. Uniknya, kedua buku berharga sama yaitu Rp 6.000,00. Ini buku best seller sepanjang masa di Indonesia yang konon sudah dicetak ratusan kali. (Baca: Buku-Buku yang (Tampak) Abadi).

Bagaimana boleh sebuah buku berharga sangat murah? Ya, seperti kasus buku Risalah Tuntunan Shalat itu karena pertama fisik buku tidak berubah dengan bahan yang murah (menggunakan kertas koran). Selain itu, dengan cetak ulang ratusan kali, banyak biaya sudah tereduksi seperti biaya editorial. Entah royalti apakah tetap dibayarkan karena berdasarkan penelusuran di Google, sang penulis sendiri tidak diketahui keberadaannya (mungkin ada Kompasianer memiliki info lebih detail tentang Drs. Moh. Rivai ini?).

Harga buku umumnya ditentukan oleh faktor X yaitu komponen bahan fisiknya. Karena itu, jika hendak menghitung harga cetak buku, hal-hal yang menjadi unsur kalkulasi adalah

  1. ukuran buku;
  2. tebal halaman buku;
  3. jenis kertas isi dan jenis kertas kover, termasuk gramaturnya;
  4. warna cetak isi (B/W, duotone, FC);
  5. warna cetak kover dan bidang cetak (apakah satu muka atau bolak-balik);
  6. jenis jilid, apakah kover lunak atau kover keras (hard cover);
  7. jumlah cetakan (tiras/oplag).

Banyak penerbit menggunakan rumus faktor X dikali 4 sampai 5 demi mendapatkan profit. Jika harga cetak Rp20.000/eksemplar, harga jual menjadi Rp80.000 s.d. Rp100.000 per eksemplarnya. Hitungan paling mepet adalah 3 x biaya cetak. 

Namun, sesungguhnya ada faktor Y yang juga berpengaruh yaitu konten dan penulisnya. Jika penerbit cukup pe-de, sebuah buku tidak hanya dihargai dari segi fisiknya, tetapi juga dari segi benefit kontennya. Karena itu, tidak heran jika ada buku yang tipis, bahkan berkover lunak (soft cover) justru berharga mahal. Pada masa kini sebagai zaman yang benar-benar memutarbalikkan banyak hal, sebuah buku dapat dijual dengan harga berpuluh kali lipat dari harga cetaknya. 

Lihat saja di dunia maya, banyak orang menjual buku secara captive, bahkan niche, dengan harga yang tidak "bukuwi" misalnya Rp300.000,00 s.d. Rp500.000, padahal fisiknya biasa saja tidak seperti coffee table book yang mewah. Iming-imingnya buku itu dicetak terbatas, mengandung rahasia kekayaan tidak terbatas, dan bagi 1.000 pembeli pertama akan mendapatkan bonus senilai puluhan juta rupiah. Atau pola lain karena memang buku itu begitu langka. Mau tidak mau para pembeli yang penasaran rela merogoh kocek lebih dalam.

Dari hasil riset sebuah jaringan toko buku diperoleh harga buku rata-rata yang berterima bagi masyarakat Indonesia yaitu Rp40.000,00 (angka psikologis). Artinya, buku berharga Rp40.000,00 masih terasa "bukuwi", apalagi di bawah itu, masihlah berterima bagi masyarakat menengah ke bawah. Jika sekali waktu Anda melirik rak buku di toko retail kecil (minimart), Anda akan menemukan buku-buku untuk konsumsi remaja alay atau orang dewasa yang galau. Buku-buku itu umumnya dibanderol dengan harga kurang dari Rp40.000,00.

Akan tetapi, ada juga sebuah misteri ternyata buku-buku di atas Rp100.000,00 juga diminati dan dibeli masyarakat menengah kita. Sewaktu memutuskan menerbitkan buku Api Sejarah karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, tim marketing saya di Salamadani sempat ragu karena tebalnya mencapai lebih dari 700 halaman. Setelah dikalkulasi, buku itu harus dijual di atas Rp100.000,00. Tim marketing agak khawatir dengan harga sedemikian mahal mengingat sudah melampaui harga yang "bukuwi" tadi. Namun, saya memveto kekhawatiran itu (mumpung jadi direktur). 

Buku dicetak 5.000 eksemplar pada cetakan pertama untuk menekan harga per eksemplar. Tidak sampai setahun terbukti sudah cetak ulang. Ternyata masyarakat pembaca sudah dapat beradaptasi dengan harga di atas seratus ribu. Dari segi fisik buku memang meyakinkan yaitu tebal dengan ukuran besar pula (B5) dan dari segi konten juga mengandung kontroversi sejarah yang membuat penasaran. Hingga kini buku tersebut masih diterbitkan walau sudah berpindah ke lain hati alias lain penerbit.

Lain lagi yang terjadi pada buku pelajaran. Pemerintah lewat Kemdikbud pernah menetapkan harga eceran tertinggi untuk buku sekolah elektronik (BSE) versi cetak. Pemerintah berusaha menekan harga buku dengan membeli hak cipta dari penerbit atau penulis. Beli putus hak cipta dilakukan dengan limitasi eksploitasi selama 15 tahun sehingga tidak ada kewajiban membayar royalti. Lalu, pemerintah menghitungnya dengan harga fisik saja, bahkan fisik terendah. 

Jika pemerintah ingin menerapkan secara umum HET ini dengan asumsi agar harga buku murah, pihak yang dirugikan adalah para penulis yang sudah bersusah payah menulis buku, tetapi malah dihargai fisiknya. Artinya, membeli buku tanpa berisi tulisan dan berisi tulisan sama saja. Mungkin nanti para guru atau para siswa disuruh saja membeli buku tulis, lalu menulis sendiri sehingga menjadi lebih murah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun