Dua malam saya berdiskusi dengan seorang senior, seorang profesional dan praktisi bidang perhotelan yang memulai kariernya sebagai bell boy hingga mencapai karier tertinggi sebagai GM hotel. Kami asyik mengulas soal pendidikan vokasional yang di Indonesia diwujudkan pada SMK ataupun politeknik. Pendidikan inilah yang menghasilkan para "juru"--dalam KBBI diartikan orang yg pandai dl suatu pekerjaan yg memerlukan latihan, kecakapan dan kecermatan (keterampilan).
Saya sendiri adalah 'produk' pendidikan vokasional dari Prodi D3 Editing Unpad. Beruntung saya menemukan prodi yang digagas Pak Jus Badudu itu untuk menempa diri sebagai copy editor atau serendah-rendahnya korektor (juru koreksi). Kurikulumnya memang langsung mengarahkan pada siap kerja di industri penerbitan atau media.
Istilah juru masih digunakan sampai sekarang, contohnya untuk menyebut Johan Budi sebagai juru bicara Presiden. Di partai-partai politik ada beberapa orang yang ditugaskan sebagai juru kampanye. Di tempat-tempat keramat ada juru kunci--meskipun saya mikir apakah diperlukan keterampilan dan kecakapan tertentu untuk menjaga tempat itu, tetapi yang mungkin saja, minimal menghafal sejarah.
Hebatnya kata 'juru' ini tidak memandang strata sosial. Lihat saja kata 'juru' digunakan juga pada 'juru parkir'. Anda mungkin pernah kesal dengan tukang parkir yang salah memberi instruksi. Ternyata, mengarahkan seorang pengemudi untuk parkir juga memerlukan keterampilan. Juru parkir juga harus paham bagaimana berkomunikasi dengan pengemudi sehingga komunikasi yang baik menimbulkan simpati dan empati. Alih-alih membayar parkir standar Rp2.000-Rp3.000, kadang-kadang pengemudi rela mengeluarkan uang Rp10.000 tanpa kembalian.
Kerja Dulu, Sarjana Kemudian
Kembali pada perbincangan saya dengan sang profesional memang lebih spesifik membahas tentang para juru yang bekerja di hotel dan tempat-tempat wisata. Lalu, saya menarik model dari pengalaman beliau bahwa pendidikan vokasional setingkat SMK dapat menjadi solusi pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Konkretnya begini, bukan karena saya hendak menggunakan jargon-jargon ala pemerintah.
Seorang anak manusia itu mestinya sudah mengambil keputusan penting dalam hidupnya pada usia-usia sekolah menengah sebelum terlambat. Lalu, jika ia memilih SMA ataupun SMK, di luar persoalan karena ketidakmampuan biaya, sang anak harus langsung bekerja untuk memperoleh pengalaman-pengalaman berharga atau katakanlah itu magang. Sebagai lulusan SMA/SMK, tentulah baginya lebih mudah menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang paling tidak memerlukan keterampilan. Katakanlah di hotel itu mengangkat koper tamu atau mencuci piring--meskipun kedua pekerjaan itu juga memerlukan keterampilan.Â
Semua yang besar bermula dari yang kecil. Semua yang dianggap mulia bermula dari yang dianggap "hina" atau dipandang sebelah mata. Jack Ma, Bill Gates, Susi Pudjiastuti adalah orang-orang yang awalnya dipandang sebelah mata. Sepertinya Presiden Jokowi memang ingin menohok benak banyak orang dengan mengangkat Menteri Susi menjadi menteri meski taklulus SMA. Susi Pudjiastuti bukan lahir dari keluarga kurang mampu, tetapi karena sudah bekerja saat usia belia, ia menjadi keenakan hingga lalu lebih tertarik pada dunia kerja daripada sekolah. Sekolahnya adalah kehidupan dan pengalamannya sendiri.
Hampir semua kisah orang sukses menunjukkan pola bahwa mereka telah bekerja lebih awal sebelumnya (pada usia remaja) beberapanya kemudian melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi. Karena itu, jika pendidikan vokasional benar-benar diseriusi, Indonesia akan punya kekuatan SDM yang memiliki ciri tahan banting dan benar-benar terampil. Berbeda halnya pendidikan setingkat sarjana (S1), kadang atau kebanyakan lulusannya merasa gengsi memulai kerja dari bawah. Di benak mereka paling tidak posisi kepala bagian atau manager harusnya pas dengan level pendidikannya. Alhasil, pemikiran dan mental seperti ini sangat menjebak kemajuan dirinya sendiri sampai kemudian ia tidak kerja-kerja.
Cocoklah jika Presiden Jokowi langsung memerintahkan Mendikbud Muhadjir untuk memperbanyak pendidikan vokasional. Hanya masalahnya tetap ada yaitu soal para pengajar yang juga harus seorang 'mahajuru' atau paling tidak benar-benar 'juru'. SMK tidak boleh asal ada, tanpa konsep, tanpa pembaruan (alias masih terkesan jadul), dan tanpa ahlinya. Guru-guru SMK semestinya bukan guru yang lebih senang berteori, mengajarkan berbasis buku-buku yang sudah lama tidak diperbarui, dan tidak mampu menghadirkan realitas sebenarnya dunia kerja.Â
Tantangan Vokasional