Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mantan Terindah itu Peribahasa

24 Juli 2016   21:44 Diperbarui: 25 Juli 2016   02:58 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memang ibarat lagu Iwan Fals tersebut, peribahasa atau ungkapan sebagai salah satu kekayaan kearifan lokal bangsa Indonesia telah menjadi "mantan yang terlupakan". Saya menuliskan ini tergerak dari pertanyaan salah seorang murid menulis saya (seorang guru) ketika diberikan kepadanya contoh puisi yang mengandung kata "putih adalah mata". Ungkapan "putih mata" saya ambil dari peribahasa "lebih baik berputih tulang daripada hidup berputih mata" yang bermakna "lebih baik mati daripada hidup menanggung malu".

Kenyataannya dalam aktivitas berbahasa sehari-hari, kita makin jarang menggunakan ungkapan dan peribahasa yang kaya makna tersebut, kecuali dalam perbincangan masyarakat suku tertentu.

Saya kerap masih mendengar masyarakat suatu suku masih menggunakan peribahasa untuk mengungkapkan sesuatu, seperti di daerah Melayu, Minang, Sunda, dan Jawa. Dalam bahasa tulis memang masih ada yang menggunakan, seperti bagai makan buah simalakama, jauh panggang dari api, bertepuk sebelah tangan, atau panas-panas tahi ayam, tetapi jarang atau keliru menggunakan sesuai dengan maknanya.

Kedahsyatan peribahasa dan ungkapan ini perlulah dikenali dan dihafalkan, terutama dalam tulis-menulis. Di mana mencari referensinya? Dua buku yang satu berisi kumpulan peribahasa dan satunya lagi berisi kumpulan ungkapan karya J.S. Badudu--pakar bahasa yang telah tiada--menjadi koleksi saya. Buku itu diterbitkan Gramedia dengan judul Kamus Peribahasa dan Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia. 

Dalam pengantarnya Pak Badudu menjelaskan bahwa peribahasa adalah semua bahasa, baik kata, atau frasa yang mengandung arti kiasan. Bahasa Indonesia memiliki banyak sekali peribahasa, dan banyak di antaranya memang jarang muncul sehingga orang tidak lagi tahu apa artinya. Peribahasa termasuk suatu bagian yang tidak mudah dalam Bahasa Indonesia. Banyak orang yang tidak mengerti apa arti suatu peribahasa secara tepat ....

Saya mengamini apa yang dijelaskan Pak Badudu itu, Karena itu, saya pun perlu mengoleksi kamus peribahasa untuk memahami betul maknanya. Saya juga menyetujui pemikiran beliau bahwa peribahasa tidaklah ketinggalan zaman untuk digunakan kini karena ia ibarat bumbu yang melezatkan masakan. Pak Badudu dalam buku Kamus Peribahasa memang sangat detail menjelaskan arti setiap peribahasa dalam kategori arti sebenarnya dan arti kiasan, lalu ada pula simpulan makna dari peribahasa itu.

Guru lupa dengan makna peribahasa? Boleh jadi memang terjadi pada masa kini. Jika peribahasa keluar sebagai soal ujian, para siswa juga kelimpungan menjawabnya karena guru kencing berdiri, murid kencing berlari; guru enggan menghapal atau mencari tahu tentang peribahasa, muridnya terlebih-lebih tak merasa perlu.

Sebagai contoh yang tampaknya keliru dimaknai adalah peribahasa alah bisa karena biasa. Kata 'alah' sama dengan 'kalah' dan 'bisa' sebagaimana makna bahasa Melayu adalah 'racun'.

Diibaratkan sebuah perbuatan atau kebiasaan buruk itu adalah racun yang apabila si pelaku sudah terbiasa melakukan atau memakannya, racun itu menjadi kehilangan daya. Si pelaku menjadi imun atau kebal terhadap racun. Jadi, makna peribahasa itu sebenarnya negatif yaitu kalau kebiasaan buruk itu dipupuk, lama-lama keburukan itu takkan terasa lagi. 

Kelirunya kita menyangka bahwa peribahasa itu untuk memaknai orang yang tekun berlatih sesuatu atau melakukan sesuatu sesering mungkin maka ia akan terbiasa dan mampu (bisa) melakukan dengan baik. Keliru karena taktahu menyangka kata 'bisa' di peribahasa itu adalah 'dapat' atau 'mampu'. Hal ini terungkap pula dalam tulisan seorang Kompasianer yang saya tautkan di sini. Peribahasa yang lebih tepat adalah lancar kaji karena diulang. 

Jika ada satu atau dua peribahasa yang kita ingat, cobalah menyelisik dulu artinya. Lalu, mulai gunakan di dalam satu paragraf. Demikian pula saat menulis tentang fenomena tertentu, bolehlah kita gunakan peribahasa untuk menggambarkannya setelah kita tahu benar apa maknanya. Apa contohnya? Ketika kita membaca berita seorang ayah yang tega memperkosa anaknya sendiri maka dapat dibanding dengan peribahasa tak ada harimau makan anaknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun