Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Kreativitas Jeroan

22 Juli 2016   07:11 Diperbarui: 22 Juli 2016   11:44 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MASIH pagi dan lengang, saya sudah duduk di sebuah warung pinggir jalan untuk sarapan. Hanya ada satu orang pengunjung yang memesan mangkuk kedua untuk sarapannya. Memang bagi ukuran kebanyakan orang Indonesia, mangkuk itu sangatlah mungil. Warung ini sebuah anomali di antara deretan para penjual nasi kapau.

Namun, sepertinya sangat beken ketika melihat ada foto Pak JK yang menghadirkan makanan itu ke istananya. Beberapa foto berpigura lainnya berebut meminta perhatian di dinding warung yang sederhana, namun bersih itu. Khas rumah makan Indonesia, foto-foto dengan orang penting itu memang penting untuk memberi pesan promosi kepada para pengunjung, apalagi foto dengan perwira TNI.

"Campur!" pesan saya ke penjual.

Kata 'campur' menjadi kode bagian-bagian apa dari tubuh sapi yang dimasukkan ke sana. Ada usus, limpa, hati, babat, paru, dan sedikit daging. Jika tahu apa yang saya pesan ini, pastilah istri saya sudah mencak-mencak. Jeroan adalah musuh utamanya. Tapi, jika saya masuk ke salah satu warung nasi kapau, ya sama saja ada santan dan jeroan ala Minang juga. Pilihan lain tidak tersedia di sana.

Oh ya, keanomalian tadi karena warung ini menjual coto Makassar di antara kepungan warung nasi kapau di pinggir jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta. Warungnya bernama Warung Coto Senen.

Saya hanya menghabiskan semangkuk kecil coto berisikan jeroan itu ditambah dua buah kupat (ketupat) kecil sebagai pengganti nasi. Es teh manis turut menemani. Sambil makan, ingatan saya meluncur pada kebijakan pemerintah untuk mengimpor jeroan dari luar negeri yang sebelumnya dilarang itu. Di luar negeri seperti Australia atau Selandia Baru, jeroan sapi memang tidak dimakan, tetapi untuk makanan hewan. Namun, katanya negara seperti Spanyol, Italia, Skotlandia, Korea, Jepang, dan negara Erdogan, Turki, masyarakatnya juga makan jeroan. 

Tapi, saya kira hanya orang Indonesia yang begitu kreatifnya memanfaatkan jeroan sebagai makanan dengan berbagai olahan dan kadang harganya menjadi lebih mahal dari daging sapi. Siapa yang tidak ngiler jika melihat paru yang dilumuri bumbu kuning dari ketumbar, lalu digoreng cess.... Panas-panas disajikan dengan nasi mengepul. Pun begitu dengan usus yang digoreng, lalu disajikan panas-panas hingga tampak berminyak menggiurkan. Makanan "surga" penuh bahaya yang tak memerlukan uji nyali untuk menikmatinya.

Jika jeroan diimpor, berarti memang begitu dahsyatnya bagian sapi ini memengaruhi gaya hidup orang Indonesia, dari Barat ke Timur. Mentan berpendapat masyarakat Indonesia harus diberi pilihan, yaitu daging segar, daging beku (frozen), dan jeroan. Hal itu disebabkan fluktuasi harga daging segar yang terjadi, sementara itu pemerintah ingin asupan protein pada masyarakat tidak terganggu. Kilah lain bahwa masuknya jeroan akan menekan harga daging sapi karena masyarakat kemungkinan memilih jeroan yang lebih murah. Ya, masyarakat Indonesia terkenal pemakan segala.

Meski bermaksud baik dan dilakukan dalam jangka pendek, ada saja yang mengkritik impor jeroan ini. Mungkin yang mengkritik memang harus singgah di warung coto Makkasar Senen atau lapak nasi kapau. Cobalah untuk memesan kuliner jeroan kreatif ala Indonesia, dijamin pasti minta tambah, kecuali jika mereka mulai terserang kolestrol tinggi dan penyakit yang bermusuhan dengan lemak berbahaya itu.

Ah, ibu saya yang orang Minang meski sudah tidak disarankan, bahkan dilarang makan jeroan, tetap saja sekali-sekali mencuri kesempatan. Apalagi, jika saya bawa ke restoran ibu haji Ciganea yang berubah menjadi Cijantung itu--pas banget jantung dengan jeroan. Sajian ususnya membuat air liur menetes. Mereka yang belum bertobat makan jeroan, pastilah langsung menyambar. 

Akhirnya, tulisan ini mungkin tidak berisi sama sekali selain memberi pesan coto Makassar itu enak, nasi kapau juga maknyus, makanan Sunda takkalah lezatnya. Semuanya memberi peluang tampil pada jeroan dan diberi sentuhan kreativitas bumbu serta penyajian. Jadi, impor jeroan mengapa dipermasalahkan sepanjang ada yang membeli dan orang Indonesia tidak dilarang memakannya. Jika hal ini menyangkut soal politik ekonomi dan lain-lain, saya lebih baik melanjutkan kekhusyuan makan di warung coto Makassar pinggir jalan. Semoga Pak JK membaca ini. Hehehe.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun