Ia menegaskan bahwa poin utama dari kuliahnya adalah pada dasar-dasar argumen tentang kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan baru. Ia tidak melihat adanya perencanaan maupun upaya sistematis secara domestik untuk memproyeksi kekuatan negara RI ke pentas internasional.Â
Saya ingin sekali membela negara saya, tetapi pengetahuan yang terbatas ini membuat saya cukup (sekali lagi bukan sangat) menerima pendapat sang Profesor tanpa persiapan memberikan dasar-dasar argumen yang ditantangnya. Pascareformasi meskipun akhirnya selamat membawa biduk raksasa bernama Indonesia, para pemimpin kita belum mampu memproyeksikan sebenar-benarnya seperti apa Indonesia Baru. Kegiatan "cuci piring" dari kepemimpinan lama berulang periode dan menyita banyak waktu, pikiran, serta tenaga--belum lagi konstelasi politik yang turun naik bak roller coster. Belum usai pekerjaan membenahi itu dilakukan, bangsa ini akan atau sudah diributkan dengan persiapan Pemilu 2019 untuk mengukuhkan kekuasaan. Bangsa ini bersiap bakal terbelah lagi, kecuali ada pertandingan sepak bola melawan Malaysia atau Australia, semua bersatu.
Indonesiaku dianggap tak punya kapasitas menjadi kekuatan dunia. Bolehlah kita mengambil sikap "anjing menggonggong, kafilah berlalu ..." Namun, sang Profesor bukan sedang menggonggong, tetapi diminta untuk memberi pendapat. Kita hormati pendapat itu untuk menemukan kebenaran hingga menjadi pembenaran. Benarkah negara ini tidak punya kapasitas menjadi kekuatan dunia? Orang bijak berkata lebih baik Indonesia memiliki kapasitas menjadi kekuatan akhirat untuk menaklukkan dunia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H