Tidak semua orang memiliki keterampilan menulis, sementara dalam dunia bisnis ataupun kedinasan, produk tulisan diperlukan hingga membuat tulisan menjadi "komoditas" yang memiliki harga. Organisasi, baik itu pemerintah atau swasta, yang tidak memiliki personel dengan kecakapan menulis, tentu terkadang mengalihdayakan pekerjaan tersebut kepada para penulis profesional.
Lalu, berapa kira-kira harga tulisan dalam standar sebuah proyek penulisan? Ternyata, pemerintah Indonesia yang memiliki standar biaya umum (SBU) hanya menghargai satu jenis tulisan yaitu artikel untuk konten situs web dengan tarif Rp100.000,00 per halaman.
Boleh dikatakan untuk standar tulisan lain tidak ada dan tidak jelas, padahal proyek atau program penulisan juga dilaksanakan pemerintah. Demikian pula dalam konteks swasta, harga penulisan sangat bergantung pada hasil negosiasi antara penulis dan kliennya.
Beberapa waktu lalu, saya sempat menghadiri rapat dengan Direktorat Sejarah, Kemendikbud, untuk menentukan tarif penulisan program buku sejarah. Seorang utusan dari Puskurbuk menyatakan bahwa dalam penulisan buku tidak ditentukan per halaman naskah, tetapi per proyek alias dibayar secara “gelondongan”. Program itu sendiri menetapkan biaya penulisan, sudah termasuk biaya riset, sebesar Rp30 juta.
Jika berpatokan pada tarif menulis artikel Rp100.000,00 per halaman, mari kita hitung bahwa rata-rata satu halaman A4 dengan fonta 12 pt dan spasi 1,5 akan didapat sekira 300 kata. Berarti per kata hanya dihargai sekira Rp330. Konten artikel untuk situs web memang tidak akan panjang, hanya berkisar 3-4 halaman.
Jika seorang penulis menghabiskan waktu sekira 1 atau 2 jam untuk menulis 3-4 halaman dengan bayaran Rp300-Rp400 ribu, bolehlah dikatakan tarif tersebut layak. Namun, jika sebuah artikel harus ditulis dengan melakukan studi pustaka atau riset, tentu harga sedemikian kurang layak.
Dalam soal proyek penulisan buku, mungkin Puskurbuk mengambil pengalaman saat diberlakukannya BSE (buku sekolah elektronik) ketika pemerintah memberi imbalan beli putus (soal beli putus diatur juga dalam UU Hak Cipta No. 28 tahun 2014) dengan angka waktu itu mulai Rp100 juta, tetapi, sekali lagi tetapi dengan pengalihan hak cipta selama 15 tahun.
Padahal, uang sejumlah itu ada yang dapat diperoleh para penulis buku pelajaran dari royalti setahun. Adapun dalam program BSE, buku diedarkan secara gratis dalam bentuk digital dan masyarakat umum boleh memperbanyak atau mencetak, lalu menjual edisi cetaknya.
Alhasil, yang memperoleh duit berlipat ganda adalah para pencetak dan pengedar buku BSE versi cetak itu. Penulis hanya nelangsa dengan uang Rp100 juta, bahkan kadang tidak sampai sejumlah itu, untuk bukunya yang sudah dialihkan hak ciptanya selama 15 tahun.
Ada juga Kemenristek Dikti yang sejak lama mengadakan program Hibah Buku Teks/Ajar dan Insentif Buku Ajar yang memberikan dana sebesar Rp18,5 juta (untuk insentif) dan Rp22 juta (untuk hibah) pada tahun 2016. Hal yang membedakan antara hibah dan insentif dari segi jumlah halaman.
Untuk program insentif minimal 49 halaman dan untuk hibah minimal 200 halaman. Namun, Kemenristek Dikti tidak menguasai hak cipta buku tersebut. Program itu dimaksudkan untuk menggiatkan para dosen menulis buku–sebuah penghargaan yang sangat berarti tanpa harus menguasai hak ciptanya dan menyebarkan secara bebas.
Standar biaya umum penulisan tampaknya memang harus disusun pemerintah secara lebih detail, baik dengan basis hitungan per halaman atau pun basis hitungan per proyek yang juga dibatasi dalam jumlah halaman. Pemerintah perlu juga memperhatikan sisi kelayakan dan kepatutan ketika memberlakukan pengalihan hak cipta dengan limitasi waktu demi juga menghargai hasil jerih payah para penulis.
UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 jelas menyebutkan bahwa limitasi berlaku secara otomatis apabila tidak ditentukan yaitu kembali lagi ke si pemegang hak cipta setelah 25 tahun, termasuk ke ahli warisnya. Jadi, beli putus adalah semacam pengalihan hak cipta sementara, tidak permanen.
Pertimbangan yang harus diperhatikan pemerintah adalah dari sisi lamanya waktu. Kasus BSE dengan 15 tahun menurut pandangan saya terlalu lama dan tidak wajar karena imbalannya juga kurang memadai.
Wajar adalah jika pengalihan hak cipta hanya berlangsung 5 tahun atau paling lama 10 tahun dengan imbalan paling tidak di atas Rp250 juta. Pemerintah juga harus memikirkan nasib penulis meskipun hal itu dianggap sebagai khidmat bagi negara. Pasalnya, ada pihak lain yang diuntungkan dari eksploitasi hak cipta tersebut yaitu para pencetak dan penjual buku. Adapun penulis tidak mendapat imbalan apa-apa lagi, kecuali mungkin setitik kebanggaan bukunya dipakai secara nasional.
Membuat Standar Tarif Penulisan
Jika dipetakan, kebutuhan penulisan di dalam pemerintah atau swasta dapat dibagi sebagai berikut.
Tulisan pendek dengan panjang antara 3-10 halaman:
- Berita
- Artikel opini
- Esai
- Feature
- Teks pidato
- Siaran pers
Tulisan menengah dengan panjang 15 s.d. 48 halaman:
- Laporan
- Makalah
- Proposal
- Handout
Tulisan panjang dalam hal ini berbentuk buku >49 halaman:
- Buku panduan
- Buku sejarah
- Direktori
- Buku profil
- Buku pegangan
- Buku ajar/teks
- Diktat
- Modul
Penetapan tarif penulisan dapat disusun berdasarkan
- Tingkat kesulitan (seperti memerlukan riset lapangan atau cukup tinjauan pustaka, termasuk wawancara);
- Tenggat (deadline);
- Panjang halaman (biasanya makin banyak, jatuhnya per halaman lebih murah).
Khusus untuk tulisan panjang atau buku memang dapat dibuat tarif penulisan per proyek dengan mempertimbangkan hal tadi apakah hak ciptanya dialihkan atau tidak.
Pertanyaan lagi, apakah hak cipta dapat dialihkan secara permanen? Tentu dapat dilakukan sesuai dengan perjanjian pada awal memberikan pekerjaan menulis tersebut. Posisi penulis menjadi penulis jasa seperti ghost writer atau co-writer. Hal tersebut dapat ditegaskan di dalam surat perjanjian kerja sama dan surat pernyataan khusus.
Beberapa proyek penulisan menetapkan angka rata-rata Rp20 juta untuk per proyek buku dengan ketebalan 100 s.d. 120 halaman. Namun, ada juga yang lebih, bahkan ada juga dengan angka fantastis misalnya mencapai ratusan juta rupiah.
Latar belakang penetapan tersebut utamanya dapat dilihat dari tingkat kesulitan dan tenggat. Contohnya, apabila penulis harus melakukan riset lapangan, wawancara, dan studi pustaka hingga memakan waktu bulanan, tetapi harus dipercepat, tentu wajar jika ia dibayar dengan tarif maksimum.
Semoga tulisan ini menjadi pelecut untuk diskusi yang lebih detail tentang standar tarif penulisan di Indonesia. Banyak penulis lepas yang kesulitan ketika kali pertama terjun secara profesional manakala mereka diminta untuk menyebutkan tarif penulisan.
Begitu pun banyak juga yang awam soal UU Hak Cipta. Standar biaya umum dari pemerintah dapat menjadi acuan untuk menghidupkan industri kreatif penulisan-penerbitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H