Sekelebat Cerpen | Bertemunya Dua Orang Hebat (4)
Mbah Soleh berjalan di depan, saya berjalan di belakang membantu menerangi jalan setapak gelap dengan lampu senter LED. Jalan setapak ini tidak lurus menanjak tapi melingkar menanjak bagai spiral berputar mengitari punggung Bukit Pegat. Berjalan kaki tanpa henti ini seperti menguji detak jantung dan paru-paru saya. Saya mulai terengah-engah kelelahan, sementara Mbah Soleh justru semakin menanjak semakin cepat jalannya. Sering Mbah Soleh berhenti gara-gara menunggu ketertinggalan saya yang jauh berada di belakang atau tepatnya yang jauh berada di bawah. Saya mencoba mencari cara agar bisa berjalan sambil berdiskusi dengan harapan Mbah Soleh mau menyamakan kecepatan langkahnya dengan kecepatan langkah saya. Karena dengan kecepatan langkah kaki Mbah Soleh yang jauh lebih cepat melebihi kecepatan langkah kaki saya, tentu akan menyulitkan proses tanya-jawabnya nanti, Kecuali kalau proses tanya-jawabnya dengan cara berteriak, semakin tertinggal jauh semakin keras volume teriaknya. Persoalannya apakah Mbah Soleh mau berbicara dengan cara berteriak-teriak di malam hari?
"Mau!"
Tanpa saya duga dari atas terdengar jawaban Mbah Soleh dengan volume suara yang keras dan nyaring sekali serta diikuti gema. Lagi-lagi Mbah Soleh mampu membaca ungkapan isi pikiran saya.
Dengan cara berteriak saya ajukan sebuah pertanyaan kepada Mbah Soleh.
"Permisi Mbah, Â tolong ajari saya caranya membaca pikiran orang, Mbah"
Dari punggung bukit atas terdengar teriakan jawaban Mbah Soleh nyaring sekali diikuti gema.
"Mbah tidak membaca pikiran orang, Mas Bambang...hehehe"
Dari bawah saya ajukan pertanyaan lagi dengan suara semakin keras karena ketertinggalan saya semakin jauh dari Mbah Soleh.
"Kalau bukan membaca pikiran lantas apa itu, kok Mbah Soleh selalu tepat mengetahui isi pikiran saya yang masih saya simpan di dalam hati?"
"Pikiran dan hati Mas Bambang sendiri sebenarnya yang membacakan kepada Mbah....hehehe" Jawab Mbah Soleh semakin nyaring dan diikuti gema. Jalan setapak ini seolah hanya kami saja yang melalui karena sejak awal naik tadi sampai sekarang belum berpapasan dengan orang lain. Mungkin kalau ada orang lain, mereka akan menganggap bahwa kami berdua adalah orang yang sangat aneh, karena di malam hari di perbukitan yang sepi saling berbicara dengan cara berteriak-teriak dan saling berjauhan jaraknya.
"Tapi saya tidak merasa membacakannya untuk Mbah"
"Itu tandanya hubungan antara Mas Bambang dengan pikiran dan hati Mas Bambang sendiri masih terputus sehingga Mas Bambang tidak tahu apa yang diperbuat oleh pikiran dan hatinya ketika pikiran berjumpa dengan pikiran, ketika hati berjumpa dengan hati. Ketika pikiran Mas Bambang berjumpa dengan pikiran Mbah. Ketika hati Mas Bambang berjumpa dengan hati Mbah. Diri Mas Bambang tidak hadir....hehehe" Dari bawah jawaban panjang Mbah Soleh terdengar sangat jelas nyaring sekali kemudian diikuti dengan suara gema.
Dari bawah saya terkesiap kaget karena ternyata selama ini saya belum mengenal diri saya yang sejati yaitu diri pribadi yang telah menyatu dengan kesadaran terus menerus bersama pikiran dan hatinya, menyatu tak pernah lepas satu dengan lainnya. Jawaban Mbah Soleh menyadarkan dan mencerahkan saya untuk belajar memulai mengenali diri sendiri. Setelah saya selesai berbicara dalam hati ini, tak lama kemudian terdengar sangat jelas suara dari Mbah Soleh dari atas Bukit Pegat dengan suara nyaring sekali tanpa diikuti gema.
"Ya, Betul Mas Bambang, mulailah belajar mengenali diri sendiri yang sejati...hehehe".
(bertemunya dua orang hebat (4), 2024)
Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Bertemunya Dua Orang Hebat (4). Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!