Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - (Belajar Mendengarkan Pembacaan Puisi) yang Dibacakan tanpa Kudu Berapi-Api tanpa Kudu Memeras Hati

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah PERINGKAT #1 dari ±4,7 Juta Akun Kompasiana ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekelebat Cerpen: Tidak (1)

3 Februari 2024   16:00 Diperbarui: 3 Februari 2024   16:03 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi merupakan dokumen pribadi 

Sekelebat Cerpen | Tidak (1)

Pak La dan Pak Na’am tinggal di kampung yang sama yaitu Kampung Puisi. Anehnya walau nama kampungnya itu kampung puisi, tak ada satu pun warganya yang pemuisi. Jadi tak heran apabila tak ada satu pun puisi yang lahir di kampung ini. Bahkan selama ini pabila ada acara di hari-hari besar, misal di acara Tujuhbelasan Agustus pun juga tak pernah ada yang membaca puisi di panggung pertunjukan. Sampai sekarang belum ketemu apa penyebabnya, apakah hanya kebetulan saja, ataukah ada semacam pantangan yang tak boleh dilanggar.

“Saya pun tidak berani mengajukan diri naik panggung untuk membaca puisi, “ kata seorang warga yang menyebut dirinya dengan “saya”.

“ Kalau mencipta puisi secara sembunyi-sembunyi di kampung ini, bagaimana Bro?,” kata temannya.

“ Saya pernah mencoba, tapi tiba-tiba blank ide dan mood saya.”

“ O ya sudah...mending ngerjakan yang lainnya saja kalau begitu Bro.”

“ Iya.” Jawab saya.

Kembali lagi ke Pak La dan Pak Na’am. Beliau berdua ditokohkan di kampung puisi ini. Ditokohkan dan menjadi tempat penanyaan bagi warga yang bingung untuk memutuskan sesuatu. Pak La tinggalnya di kampung sebelah utara, sedangkan Pak Na’am tinggalnya di kampung sebelah selatan. Usia keduanya sudah kepala lima dan kebetulan sama-sama hidup membujang. Kalau ditanya apakah Pak La kenal dengan Pak Na’am atau Pak Na’am kenal dengan Pak La? Jawabannya selalu konsisten: “tidak kenal”. Rasanya tak masuk akal dan aneh sekali untuk dua warga asli kampung yang sudah limapuluhan tahun tinggal di kampung dan sama-sama tidak saling kenal. Apalagi untuk sebuah kampung yang sangat kecil, sungguh benar-benar mengherankan. Padahal keduanya ditokohkan dan sangat tenar, sangat dikenal tak hanya bagi warga kampung puisi ini, tapi dikenal luas oleh warga kampung-kampung lainnya.

“ Kalau keanehan demi keanehan ini menjadi masalah, maka selidikilah”, kata saya (kata seorang warga yang menyebut dirinya dengan “saya”). Dan sampai sekarang belum ada satu pun pihak yang berani menyelidinya, bahkan ketika keanehan-keanehan itu sebenarnya sudah menjadi masalah atas rasa keingintahuan yang menggoda keingintahuan orang-orang tertentu.

Demikian juga tentang Pak La dan Pak Na’am. Apakah Pak La ingin tahu dan ingin kenal dengan Pak Na’am? Dan sebaliknya, apakah Pak Na’am ingin tahu dan ingin kenal Pak La?.

Kemungkinan jawabannya adalah sama-sama: TIDAK.

Mengapa jawabannya TIDAK?

“ Kalau penasaran, maka selidikilah”, lagi-lagi kata saya (yaitu kata seorang warga yang menyebut dirinya dengan “saya”).

(tidak (1), 2024)

Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Tidak (1). Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun