Monolog 16: Tuhan
Sebelum, ayahmu memulai membahas tentang Tuhan, ayah ingin engkau mampu
mengkosongkan dirimu, pikiranmu, rasamu, jiwamu seperti puisi di bawah ini:
Â
di tengah -- tengah angka nol
Â
dari atas geladak sebuah biduk dan ombak
antara matahari dan bulan
antara kehendak dan kenangan
yang berdebur menghentak-hentak
pada awal keberangkatan ini.
dari atas geladak sebuah biduk dan ombak
' kan kulabuhkan semesta kesunyian
nuju nun jauh pulau di tepi bulan.
Anakku, jika engkau memutuskan harus memiliki Tuhan, dan Tuhan sebagai suatu hakekat kerinduanmu, maka kembaralah pada hakekat perjumpaanmu, tangisilah pada hakekat ketakberdayaanmu. Tapi, sebelumnya, jawab pertanyaan ayahmu ini dahulu: apakah engkau telah merasakan hakekat kerinduan yang maha mengharukan, apakah engkau telah merasakan kehadiranNya abadi pada jiwamu yang abadi, atau hanya merasakan kehadiranNya ketika tubuhmu duka, hatimu gelisah; apakah engkau sering melupakanNya, sembari melupakan hakekat kesunyian dirimu ???
Tapi, jika engkau memutuskan tidak ingin memiliki Tuhan alias tidak bertuhan, pertanyaanku menjadi: bagaimana engkau mengatasi ketidakberdayaanmu, bagaimana engkau mengatasi ketidak pastianmu , serta bagaimana engkau akan memahami hakekat perjumpaanmu, merasakan hakekat kesunyianmu, merenungi asal-tujuan jiwamu, mencermati sangkan paraning perbuatanmu, dan bagaimana engkau akan menyelamatkan pertamuan demi pertamuanmu itu, bagaimana engkau akan memperlakukan hakekat kejujuranmu atas hakekat penciptaan perjumpaanmu ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H