Rasa getir melintas sejenak. Diolah oleh rasa, sambil menyegarkan dahaga. Burung adalah musafir. Saat kalut membalut, malah terbang ingin menembus kabut.
Burung itu bernama Robin. Itu nama pemberian manusia. Mungkin ia tak paham. Kenapa diberi nama seperti manusia.
Burung pagi datang dengan permisi. Mereka berdendang bersahutan. Suit-suit di reranting pepohonan. Saat ranting melengkung ke bawah, burung malah riang gembira. Mereka bersedekah suara merdu, agar setiap pagi cerah selalu.
Kita pun dapat bersiul di depan cermin. Kadang untuk menguatkan ingin.Â
 Burung lama tidak kelihatan, Ada yang mengira mereka telah tiada. Barangkali berpindah tempat singgah. Atau tergeletak di tanah.. Tiada pusara. Tiada papan nama.
Bila ada setetes sedih, mungkin itu dendang sahabatnya. Setetes perih telah hilang. Mereka kangen terbang. Semua kejadian sudah menjadi suratan.
Memang ada senyap sekejap. Mereka mengendap-endap. Lalu beterbangan bersama bulu rontoknya. Terbawa angin, melayang diam di saat hinggap.
Burung bersenandung lagu maju tak gentar. Tak ada kamus gemar dibayar. Terbang itu ya terbang saja. Tidak dipenuhi niat untuk memperkaya diri. Agar nanti selalu dipuji.Â
Ke mana-mana burung mendekap erat nyawanya. Berlindung di sela bulu sayapnya. Mereka waspada terbang. Dari ranting ke ranting. Siap menunggu pagi yang selalu berdenting.
Lama-lama burung itu sudah terbiasa mengenali diri. Kapan terbang, dan kapan kembali ke rumah abadi. "Tepunga marang sliramu dhewe. Nosce te ipsum". Siapa yang mengenal dirinya, lebih siap untuk kembali menghadapNya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H