Melihat balon adu indah di cakrawala. Membawa janji membubung tinggi. Tak ingin menginjak bumi. Sangat indah dilihat dari bawah. Terkesan sangat megah.
Ia ingin meninggi dan meninggi lagi. Lalu melupakan bumi. Para dewan pun beraksi. Demi mengejar reputasi.
Mendekati pesta, dipenuhi tanda-tanda. Kalau toh ada keraguan, lalu ditepis sendiri. Di dalam satu kandang pun, bergumul berbagai perbedaan.
Gambar hati dikejar. Di sana terdapat sumber keharuman mewangi. Seolah tiada kesenjangan. Muara katanya, demi membangun sebuah negeri di awan.
Tetapi jarang meninggalkan kata-kata yang mendalam. Bendera-bendera malah menenggelamkan. Ambisi yang tadinya terpendam, terkuak terkadang disertai dendam.
Balon terus membubung. Bertuliskan hal-hal yang agung. Demokrasi, keadilan, kesejahteraan, kekaryaan, serta perjuangan. Thema itu diangkat tinggi-tinggi, lalu dijatuhkan. Seringkali, tujuan ambisius itu diraih dengan menghalalkan segala cara.
Suara itu ternyata penting. Saat damai maupun genting. Masalah kecil dibesar-besarkan. Masalah besar, malah dikecilkan. "Nyuwara banter iku sok kanggo nutupi kanyatan kang sak benere. Plus sonat quam valet".
Melestarikan kekuasaan kadang lebih memikirkan keluarga. Daya upayanya luar biasa. Tahta jadi warisan. Tertuju pada anak kesayangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H