Merah, kuning, dan hijau. Masing-masing berjatah waktu. Itulah "traffic lights" atau lampu setopan bangjo.
Lampu itu dikira pengintai. Dipersiskan mata gagak yang menatap curiga terhadap pengguna  jalan raya.
Jika nyali berkobar, tanda lampu merah pun dilanggar. Gas diraung-raungkan, menggoda kesunyian dan keheningan. Seperti kuda liar yang kehilangan telinga dengar.
Lampu itu pengingat. Bahwa hidup itu perlu bersiap. Kuning penuh kesiapan. Kapan harus berhenti, dan kapan melaju lagi.
Waktu memang uang. Itu sumber ketidakpastian. Di kejar mereka lari. Didiamkan malah datang sendiri.
Lampu setopan di perempatan jalan mencatat siapa patuh, siapa pula si pembuat gaduh.
Di sini tercecer remah-remah ketinggian hati. Rasa tidak peduli, ingkar terhadap hati nurani. Seperti rimba raya saja.
Kekerdilan, kehinaan, bahkan kesombongan itu seperti lampu. Berkerlip-kerlip, henti tak mau.