Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Selamat Hari Ayah, Ayahku

12 November 2021   18:07 Diperbarui: 12 November 2021   18:10 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pas Hari Ayah sedunia, kesan tentang ayah teringat lagi. Ayah ikhlas sekali membungkuk membantu keterbatasan anak-anaknya, hingga kesan gagahnya tak hilang-hilang hingga sekarang.

Ketika menghadap Illahi, ayah masih muda sekali. Usianya 40 tahunan. Dikenang sebagai guru yang disegani.

Ayah paham praktik mendidik. Memberi kasih sayang tak berlebih-lebihan. Sorot matanya tajam. Hanya dengan mengedipkan mata pun, kita tahu apa yang ayah mau.

Ayah zaman now mungkin lebih paham tentang dinamika psikologik. Tapi dalam penerapannya, malah lebih banyak menekan. Kwantitas anak yang mengalami kelelahan emosional pun meningkat tajam.

Ayah dan ibu sehidup semati. Tidak lama jaraknya, ibu menyusul ayah. Predikat yatim piatu lama tersandang.

Sebagai anak kedua, nyaris tidak pernah dibelikan barang baru. Itu jatah kakak tertua. Ayah mengatakan, bukanlah faktor kesengajaan. Maklum gaji guru hanya cukup untuk hidup sederhana.

Anak-anak jadi maklum.  Kakak selalu dibelikan pakaian baru. Lalu merawat dengan baik, agar adiknya nanti tidak mendapatkan gombalnya. Konsep kepantasan itulah yang dikenalkan oleh ayah.

Saat berkarir, konsep fit and proper juga penting. Menilai diri sendiri, apakah jabatan kini dan nanti itu pas, atau kekecilan, atau terlalu longgar.

Jika kompetensi telah memadai, berarti baju pas di badan. Tidak enak rasanya punya tanggung jawab yang terlalu sempit, atau terlalu longgar.

"Ayah"  - dokpri

Walau lama telah tiada, serasa ayah masih ada. 

Ingat sewaktu ayah melatih sifat sportif. Di halaman rumah, tersedia dua lapangan badminton. Jika latihan malam, empat lampu petromaks dinyalakan.

Ayah adalah pelatih yang baik. Anak diberi kesempatan agar merasakan kalah atau menang. Sering ayah mengalah, agar tahu bagaimana rasanya menang. "Wani ngalah, dhuwur wekasane"atau berani mengalah itu susah tapi mulia kemudian.

Mengalah bukanlah kalah. Ayah seolah paham, bahwa paradigma mengalah merupakan pilihan yang sulit bukan main.

Ayah paham, anak pertama sulit mengalah, karena selalu berposisi menang. Bukan mau dia. Tetapi faktor eksternallah yang membuat sifat "kemratu-mratu" nya melekat hingga mendekati senja. Asah, asih, asuh di rumah tangga jadinya berbeda-beda.

Kebutuhan merasa penting, hakikatnya menjadi kebutuhan dasariah. Namun kebutuhan untuk mengalami keberagaman pun juga perlu diperkenalkan sejak dini.

Ayah menunjukkan adanya praktik keberagaman itu. Kakak berbeda dengan adik. Adik tidak boleh diposisikan kalah terus menerus. Kakak juga tidak boleh dimenangkan terus menerus.

Semakin tua terasakan, bahwa perburuan zona nyaman tiada habisnya.

Pada hakikatnya, ayah sudah berada di zona nyaman sekarang. Semua nanti akan seperti ayah. Menjawab pertanyaan abadi : "Siapa saya untuk dikenang? :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun