Menyampaikan pendapat adalah hak azasi manusia. Kebebasan untuk itu, berbeda dari waktu ke waktu.
Dahulu kala, lepau atau pos ronda, tempat paling nyaman untuk adu gagasan. Saat ini, kebiasaannya tetap, hanya caranya yang sudah berbeda. Hape dijadikan media utama.
Sinisme, dari dulu hingga saat ini masih menarik di hati. Sindiran bertubi-tubi dialamatkan terhadap pribadi atau organisasi. Ibarat peluru, ditembakkan terus tanpa ragu. Lebih banyak sampah, daripada khasanah.
Tradisi debat aslinya tanpa penengah atau moderator. Waktu itu, prosesnya memang bukan untuk tontonan.
Tapi begitu formatnya berubah, diperlukan tukang kipas atau penengah yang tidak berat sebelah.
Ada moderator saja sering terjadi dispute. Lalu saling melempar kata kotor. Menggebrak meja, menyiramkan air dari gelas. Sekarang ini figur semirip itu banyak yang menggemari.
Diksi kasar yang digunakan malah dipuja-puja. Jika salah, masih dibela-bela.
Jika akhirnya harus menghakimi, maka berlakulah hukum yang berlawanan. Aku pintar, mereka goblog. Aku bertaqwa, mereka pendosa. Aku taat, mereka bejat. Aku suci, mereka kotor sekali.
Kosa kata yang seharusnya berkembang, malah menyempit.
Mereka tertarik topik yang paling aktual dan viral. Yang paling asyik, membuat konten yang sensasional. Ukurannya, topik itu banyak ditanggapi oleh mereka yang mengerti atau yang sedang sakit hati.
Debat di media sosial, menjurus ke katarsis. Mereka membutuhkan mesin cuci, untuk membasuh emosi di tempat lain yang sedang dihadapi. Sementara lumayanlah mampu untuk mengurangi beban kehidupan yang asli.
Katarsis itu pelenyapan, penggantian, atau pengalihwujudan emosi yang sedang merusak. Harapannya, hati merasa lebih lega. Harga diri pun serasa lebih mulia.
Krisis eksistensi diri bisa melanda siapa saja, dan kapan saja. Bayangkan, jika tidak tersedia penyalurannya.
Beruntunglah kita mengalami era warung kopi digital. Ingin merasa pintar sendiri, bisa. Atau berbagi kepintaran pun bisa.
Terlihat gejala, jika situasi aman terkendali, kita cenderung menjadi lebih buas. Tiap hari mencari lawan. Ingin sekali menjadi singa yang disegani.
Tetapi jika situasi berubah menjadi genting, cepat-cepat menjadi kijang jompo yang tak bisa lari. "In pace leones, in proello cervi". Gayung bersambut, kata pun berjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H