Merasa kaya itu prestise. Dari abad pertengahan hingga hingga sekarang, makna harafiahnya tetap, yaitu laksana tipuan tukang sulap atau ilusi .
Merasa kaya, dipraktikkan dengan rajin bersedekah. Akan terasa mewah, jika uang seribu rupiah berpindah tangan di lampu merah. Sejenak lalu bersyukur mengenang zaman susah.
Siklus saling membutuhkan itu tak pernah berhenti berputar. Kebiasaan sosial budaya tersebut berputar terus, menjadi sarana untuk menunjukkan sifat kedermawanan sosial.
Prestise adalah lambang status sosial seseorang. Sebenarnya itu perilaku sosial seseorang, untuk melambungkan rasa hormat atau penghargaan sosial secara terstruktur.
Perilaku sosial tersebut dilambangkan dengan peralihan jabatan bergengsi. Dilanjutkan, setelah pensiun, sebagai status sosial pribadi.
Pada struktur sosial budaya mana pun, perilaku tersebut bisa dimanipulasi. Masyarakat luaslah yang akan memberi penilaian tentang kemurnian kepantasannya.
Itu karena, prestise itu bisa jadi terlalu kelihatan palsu dan wagu.
Prestise bisa menjadi bersinar, manakala dikombinasikan dengan aplikasi motif berkuasa. "Sugih bandha bandhu", menyiratkan tujuan bahwa harga diri seseorang itu tercermin dari kepemilikan harta serta ribuan teman.
Itulah mengapa, terdapat gejala tentang keinginan orang kaya untuk mendapatkan jabatan politik pemerintahan.
Mereka berharap, selain "sugih bandha", juga makin "sugih bandhu". Saat ini atau nanti, jaringan sosialnya akan berdampak positif terhadap kelancaran bisnis pribadi. Sambil menyelam, minum air.
Sebenarnya, prestise itu memiliki alternatif hierarki. Setiap tahapan akan menghasilkan wilayah keterpengaruhan sendiri-sendiri.Â