Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merasa Bisa, Bisa Merasa

28 September 2021   05:36 Diperbarui: 28 September 2021   05:39 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gergaji itu perlu diasah. Jika dibiarkan berkarat, apalagi jika jarang sekali digunakan, tentu makin tumpul tak tajam.

Fungsinya pasti menurun. Jika demikian halnya, maka itu menjadi salah satu pertanda kompetensinya menurun.

Mengasah gergaji adalah analogi  tentang perhatian terhadap pekerjaan penting tetapi tidak mendesak. Karena masih mungkin ditunda, terkesan hal itu tidak lebih penting. Padahal dalam profesionalisme, setiap penundaan masalah penting, akan membawa dampak kegentingan.

Asah gergaji adalah kebutuhan semua profesi. Agar peka terhadap kebutuhan tersebut, diperlukan suasana merdeka. Bekerja merdeka, bebas menentukan prioritas tindakan mana dulu yang diutamakan.

Kemerdekaan berpikir dan bertindak, memberi keleluasaan untuk memilih cara yang paling pas bagi diri sendiri. Mereka tidak dibatasi oleh otoritas yang terlalu kaku dan ketat.

Jika terdapat kecenderungan untuk menjadikan kemerdekaan pribadi itu sebagai hak, muncullah prasyaratnya. Pertama, tidak ingin dicampuri dalam menentukan kompetensi yang akan diasah. Kedua, hak individu masih terjaga dengan baik. Masing-masing  masih memiliki kemauan dan cara untuk mewujudkan kepentingannya.

Tentu saja secara manusiawi masih mengharapkan tiadanya rintangan terhadap cara yang dipilih itu. Tiadanya hukuman dan balas dendam juga didambakan. Dengan kata lain, kemerdekaan merupakan kesempatan pengambilan keputusan secara mandiri dan lebih bertanggung jawab.

Namun perlu juga disadari, bahwa sebebas-bebasnya tindakan, tidak luput dari kemungkinan untuk beda bagi orang per orang.

Memang benar adanya, bahwa kapabilitas seseorang itu antara lain ditentukan pula oleh skills profesionalitasnya. 

Seseorang dituntut bukan saja ahli di bidangnya tetapi juga memiliki kepribadian kokoh yang menunjang. Soft skills misalnya.

Kompetensi ini masih saja dianggap kurang penting diasah keruncingan etikanya.

Banyak orang pintar secara akademis tetapi masih belum mengutamakan dalam pengendalian ucapan kata-kata. Padahal jika terjadi kegagalan dalam pengendalian kata-kata, maka yang sedang berkata itu justru dikendalikan oleh kata yang diucapkan sendiri.

Kita menjadi saksi sejarah, betapa banyak korban bergelimpangan gegara kata-kata.

"Melik nggendhong lali". Ambisi melupakan segala. Semakin tinggi kadar profesionalitas seseorang, mestinya tidak terlalu dibutuhkan lagi ungkapan kata yang berbuih-buih itu.

Peralihan kondisi dari tidak bisa hingga merasa bisa melalui proses mengasah gergaji pula.

Merasa bisa bermakna ganda. Benar-benar bisa, atau hanya benar-benar merasa bisa. Soalnya, jika virus takabur tersebar tak terasa, sama saja menghadapi masa pandemi berkepanjangan.

Merasa pintar, belum tentu pintar. Mungkin hanya terhenti di sikap songar. Angkuh, kibir, pongah, atau sombong dalam berkoar-koar.

Dalam khasanah budaya Jawa, sudah dikenal lama sesanti : "Aja rumangsa bisa, ananging bisaa rumangsa".

Kalau ditarik ke situasi kekinian, itu termasuk pesan moral tentang kompetensi diri.

Apabila sekiranya kompetensi yang dimiliki belum sepadan, maka sadarlah bahwa di atas langit masih ada langit.

Orang tua dulu menasihati, jika sedang berjalan peliharakan kaki. Jika sedang berkata, peliharakan lidah. Lidah itu dari dulu hingga sekarang masih saja lebih tajam tinimbang pedang.

Prinsip "merasa bisa" termasuk kehebatan sekunder. Sebagai gaya,  bukanlah kehebatan primer. Gaya ini sama sekali tidak tertarik pada pengutamaan watak dan penekanan kontribusi.

Mengasah gergaji merupakan upaya untuk selalu ingat terhadap pengutamaan kehebatan primer.

Terlalu dicengkeram oleh motif berkuasa, hidup terlalu dipenuhi dengan tebar pesona atau mementingkan pencitraan diri saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun