Kompetensi ini masih saja dianggap kurang penting diasah keruncingan etikanya.
Banyak orang pintar secara akademis tetapi masih belum mengutamakan dalam pengendalian ucapan kata-kata. Padahal jika terjadi kegagalan dalam pengendalian kata-kata, maka yang sedang berkata itu justru dikendalikan oleh kata yang diucapkan sendiri.
Kita menjadi saksi sejarah, betapa banyak korban bergelimpangan gegara kata-kata.
"Melik nggendhong lali". Ambisi melupakan segala. Semakin tinggi kadar profesionalitas seseorang, mestinya tidak terlalu dibutuhkan lagi ungkapan kata yang berbuih-buih itu.
Peralihan kondisi dari tidak bisa hingga merasa bisa melalui proses mengasah gergaji pula.
Merasa bisa bermakna ganda. Benar-benar bisa, atau hanya benar-benar merasa bisa. Soalnya, jika virus takabur tersebar tak terasa, sama saja menghadapi masa pandemi berkepanjangan.
Merasa pintar, belum tentu pintar. Mungkin hanya terhenti di sikap songar. Angkuh, kibir, pongah, atau sombong dalam berkoar-koar.
Dalam khasanah budaya Jawa, sudah dikenal lama sesanti : "Aja rumangsa bisa, ananging bisaa rumangsa".
Kalau ditarik ke situasi kekinian, itu termasuk pesan moral tentang kompetensi diri.
Apabila sekiranya kompetensi yang dimiliki belum sepadan, maka sadarlah bahwa di atas langit masih ada langit.
Orang tua dulu menasihati, jika sedang berjalan peliharakan kaki. Jika sedang berkata, peliharakan lidah. Lidah itu dari dulu hingga sekarang masih saja lebih tajam tinimbang pedang.