Keberadaan cermin sangatlah penting. Â Wajah bisa dilihat sendiri. Jika terasa kurang ditambah-tambah. Jika terasa rusak, direparasi.
Gambaran, cerminan, dan pantulan wajah kita ada di mana-mana. Ini dalam arti sebenarnya, yaitu berupa kesan orang lain terhadap kita. Bahkan Ebiet G Ade pernah menghimbau  untuk selalu bercermin sebelum bicara.
Himbauan yang reflektif, yaitu memeriksa diri sendiri dalam kesadaran penuh.
Refleksi memungkinkan untuk memeriksa dengan seksama jati diri secara menyeluruh. Tampak depan, samping, dan dari belakang. Semua itu memang bersifat intervensi.
Mengaca atau bercermin merupakan kesempatan untuk berpaling ke arah yang benar. Mengubah kebiasaan menangani persoalan genting ke masalah. penting.
Pemilihan prioritas untuk memilih masalah genting atau penting termasuk kategori "perang kembang" di jagad pewayangan. Selalu dihadapi setiap hari, tanpa kecuali.
Secara tidak disadari, kita disibukkan menyelesaikan masalah mendesak, tetapi sesungguhnya tidaklah penting.
Misal, mengasah kompetensi diri termasuk kategori penting.tetapi tidak mendesak. Tapi karena itu, kita lupa mengurusi hal-hal yang lebih penting itu.
Karena lebih asyik menanggapi masalah yang tidak penting, maka kita sedang menuju ke kekosongan. Terjadi kemubaziran yang luar biasa, karena hilang waktu untuk mengurus peningkatan kompetensi diri sendiri.
Cermin pun lambat laun malah semakin buram. Itu karena jarang difungsikan sebagai sarana untuk refleksi diri.
Sebenarnya cermin itu berada di mana-mana. Di kisah nyata, maupun di dalam cerita.
Di dalam pewayangan pun kita dapat menemukan cermin budaya. Misalnya tentang kesetiaan cinta sejati.
Di dalam lakon "Sembodro Larung", Burisrowo tergila-gila berat kepada Sembodro yang telah telah bersuami. Ketika ditakut-takuti dengan keris, ia malah dengan sengaja menubruknya. Sembodro tewas seketika.
Ketika jenazahnya dilarung dengan perahu di sungai Silugonggo, ditemukanlah oleh Ontorejo. Lalu dihidupkan jenazah itu dengan kesaktiannya. Ia kembali berbahagia bersama suami dan mengasuh anaknya Ongkowijoyo.
Cerita tentang pertanggung jawaban pribadi juga begitu. Betapa banyak contoh, ketika sedang mengaca, yang terlihat malah wajah orang lain.
Pencarian kambing hitam pun dimulai. Konon inilah salah satu ekspedisi yang paling banyak dilakukan orang. Bekalnya hanya berupa praduga bersalah saja. Jika tidak ditemukan, dampak yang ditinggalkan berupa luka lama yang tidak pernah disembuhkan.
Hingga di suatu saat, berjumpalah dengan syair titik balik : "Bersuaralah dan bernyanyilah. Hingga dunia kembali berdering nyaring, seirama dengan kembalinya kebebasan yang menggema".
Memang susah menemukan hikmah. Tindakan yang paling mudah, yaitu buruk muka cermin dibelah.
Biasanya mengaca itu dilakukan di saat sedang merias diri. Sekecil apa pun, kekurangan itu pasti ditutupi dengan jeli.
Namun demikian, setelah selesai merias diri, lalu kembali ke kebiasaan lama. Mengecilkan atau membesar-besarkan masalah yang ada.
Refleksi itu penting, siapa tahu nantinya akan menjumpai kekuatan dan keajaiban yang tak terduga-duga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H