Apabila akal diibaratkan hakim, apa tanda kelayakannya ? Â Apakah akal itu yang paling adil atau hanya alat yang tetap bersifat berat sebelah ?
Setiap ada masalah, layak untuk segera dipecahkan. Itu semua tersedia perangkatnya, semisal : kesabaran, keteguhan, dan kesetiaan.
Sabar, sangat dekat dengan perilaku panjang hati atau toleran. Bersiteguh, mampu menguatkan kebaikan dalam pendirian. Kesetiaan, terfokus pada tujuan yang sedang diraih.
Pendayagunaan akal akan lebih berhasil guna tinimbang mengerahkan okol. Okol terlalu menggunakan kekuatan asal menang, bahkan sering menghalalkan segala cara.
Kalau pun di dalam praktik tersisa perbedaan persepsi harap dimaklumi. Karena dengan demikian masih bisa mengasah rasa toleransi.
Apalagi kalau bibit kolaborasi masih bisa tumbuh dengan baik. Pasti ada kekuatan yang mampu menghubungkan sesuatu yang tadinya tidak nyambung menjadi lebih bermakna.
Masalahnya, apakah masih ada kebiasaan untuk berkurban ?
Berkurban dibutuhkan oleh semesta. Caranya bermacam-macam. Ibarat rumah yang sangat besar, pintunya banyak. Masuk dari pintu mana saja, kalau berniat baik akan disilakan.
Jika sudah begini, perasaan negatif  membutuhkan medium yang lebih subur lagi. Akar yang mulai rusak, sejatinya ingin berganti dengan akar yang lebih baru, agar mampu menyerap nutrisi yang paling menyuburkan.
Akal bukanlah okol. Sejatinya akal bukan semata-mata untuk ngakali. Akal adalah alat agar kita mampu membuat abstraksi. Jalan ini ditempuh, dalam rangka upaya lebih memahami kesamaan dan perbedaan dari setiap masalah.
Kemampuan untuk membuat kesimpulan secara benar, bersumbet dari akal. Kalau hanya menggunakan okol saja, akan panen perasaan mendongkol. Ini mubazir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H