Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adigang Adigung Adiguna

19 Agustus 2021   05:14 Diperbarui: 19 Agustus 2021   05:15 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dengan latar belakang lagu kebangsaan Indonesia Raya, teater Jepang berhasil menggambarkan gelora nasionalisme. Jiwa itu membakar jiwa. Mereka mengumandangkannya, dan melintas menembus batas. 

Merdeka bukan monopoli satu bangsa. Seragam dan bendera bisa saja berbeda-beda. Tapi kibaran benderanya, menguatkan bahwa jiwa merdeka merupakan hak manusia yang paling berharga.

Barulah kemudian tiap bangsa melakukan penghayatan sekaligus pengamalan. Dari sanalah mulai tercermin kekhasan. Dalam kriteria sosial politik dan ekonomi, laju nasionalismenya akan berbuah kategori. Apakah berhasil sebagai negara maju atau malah tetap terbelakang seperti waktu masih terjajah.

Karakter sebuah bangsa tidak cukup dibangun dengan karnaval. Penguatan karakter nasionalnya adalah cermin dari kehebatan budaya berkaryanya.

Dalam berteater pun, mereka tidak segan mengambil nilai yang kuat dari bangsa lain. Dan dengan itu, diharapkan dapat lebih memompa semangat untuk memenangkan persaingan global.

Semangat nasionalisme merupakan gelora aliran darah kebangsaan. Agar mampu menggelegak lestari, yang dicari bukanlah hanya saling membully mencari-cari kesalahan saja.

Upaya mencari-cari kesalahan merupakan pekerjaan paling gampang. "Gajah di seberang lautan tampak nyata, tapi semut di pelupuk mata malah samar dibutakan".

Ketrampilan berbangsa akan semakin tumpul, manakala energi hanya dicurahkan untuk berebut kriteria, siapa yang tergolong pintar dan siapa yang dibilang bodoh.

Memang, dalam khasanah budaya Jawa sudah lama dikenal sifat : adigang adigung, dan adiguna. Ketiga sifat itulah yang justru melemahkan kekuatan dalam berbangsa.

Adigang, merupakan kesombongan kijang. Adigung kesombongan gajah. Sedangkan adiguna merupakan kesombongan ular.

Jika tiga kesombongan itu menyatu pada diri seseorang atau sebuah bangsa, mereka semata-mata hanya ingin menjadi pribadi yang bercitra kokoh tak tertandingi.

Namun kalau hanya sifat itu yang dikembangkan, akan rugi besar. Panen rayanya nanti hanyalah sebuah kenyataan, yaitu bermental lemah tertandingi karena tidak kokoh.

Nasionalisme yang handal tidak mungkin dibangun berdasar mentalitas adigang, adigung, dan adiguna. Ia malah berpotensi merusak, daripada membangun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun