Jogjakarta dan Pekalongan terhubung persaudaraannya melalui gudheg dan megono. Jejaknya secara historis diketahui sejak zaman Sultan Agung. Konon prosesi pelantikan Bupati Mandurorejo diselenggarakan di Kotagede Jogjakarta.
Penduduk kedua wilayah itu piawai membuat lauk keseharian yang mirip.
Nangka muda (artocarpus heterophyllus) adalah bahan bakunya. Selagi belum mengeras, daging buah nangka muda itu mampu menyerap bumbu secara merata.
Di Jogja, nangka muda tersebut dipotong-potong agak tebal. Sedangkan di Pekalongan, dicacah tak beraturan. Mereka mengistilahkan "dicecek". Di Jogja sebagian orang menyebut cecek itu rambak yang dapat dijadikan bahan sambel goreng pelengkap gudheg.
Sebagaimana gudheg, megono juga sudah menjadi lauk harian. Pagi, siang, dan malam.
Megono pun bisa dibeli dengan sangat mudah. Di pasar, warung, tukang sayur keliling, maupun di tempat makan lain. Penjual dan pembelinya tidak membedakan latar belakang etnis.
Megono semakin melekat lezat, tatkala ditemani pindhang thethel serta taoto.
Di dekat "The East" Jakarta pun nasi megono hadir. Lauknya tidak seperti di Pekalongan. Ayam goreng, telur bali, rendang daging, bacem, malah mendhoan pun tersedia. "Harga ampera, just one dollar breakfast", kesan teman saya yang berkantor di sana.
Di Jogja, megono dulu berwujud tumpeng kecil berlauk lauk gudhangan. Biasanya untuk uba rampe selamatan. Kata orang Jogja lama, megono dimaknai sebagai merga ana atau karena ada.
Kuliner itu bhineka. Tetapi pasti ada pertautan cerita, sehingga menjadi contoh berlakunya falsafah bhineka tunggal ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H