Saya sudah terbiasa sungkem kepada bapak dan ibu, bila Idul Fitri tiba. Durasi waktu sungkem relatif lama. Bapak ibu duduk di kursi, saya berjongkok di depannya. Saya menunduk mencium dhengkul. Mereka memegang pundak saya.
Saya selalu gagal mengucapkan kata-kata. Baik dalam bahasa Arab, Indonesia, atau Jawa. Tapi kita sama-sama paham, bahwa itu sungkeman. Lebih dari permohonan maaf.
Bapak atau ibu saya juga begitu. Mereka lupa ngendikan berkata-kata. Tangan kiri memegang pundak, tangan kanan mengelus-elus kepala saya. Terasa enerji positif mengalir hangat.
Hati saya nggregel tersentuh. Setelah sama-sama berdiri, bapak dan ibu masih memberi bonus, dengan memegang pundak serta menggoyang-goyangkannya.
Ketika makan bersama, ibu masih sangat ingat kesukaan saya. Beliau ambil, dipindahkan ke piring saya. Juga tanpa kata-kata.
Setelah bapak dan ibu berpulang menghadapNya, the power of sungkem hilang tiada. Anak-anak saya mengirim pesan dari jauh. Isinya seperti yang lainnya. Ada gambar, ada ucapan, yang nyaris sama dengan yang lain.
Sungkem tidak mungkin tergantikan dengan kecanggihan teknologi. Tetapi untuk melaksanakan itu semua, membutuhkan penghayatan tersendiri. Pasti ada yang berkomentar : "Hari gini masih sungkem-sungkeman ?" Kuna ah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H