Manusia saling bersaing dalam kehidupannya. Adigang, mereka bersaing untuk menjadi yang paling pintar. Adigung, menujukkan ke status paling berpangkat di antara mereka. Dan adiguna, menjadi berbeda karena memiliki kelebihan berlimpah, dibanding orang lain.
Cara untuk mencapai status tersebut beraneka ragam. Walau ada pengawasan, cara mencapainya ada yang aman, ada pula yang menempuh jalan riskan.
Di dalam ilmu manajemen, praktik terbaik dalam pengelolaan mengacu pada : keterbukaan, menghindari benturan kepentingan, berakuntabilitas, dapat dipertanggungjawabkan, dan mencerminkan batas-batas kewajaran.
Tetapi karena motif beradigang, beradigung, dan beradiguna dijalani secara pintas, maka kisah kesuksesan masih saja dipenuhi dengan pelanggaran etika pengelolaan.
Secara organisatoris lalu dibentuklah Satuan Pengawasan Intern, Inspektorat Jenderal, hingga pengawasan melekat. Tapi di lapangan, belum seindah yang diharapkan.
Analoginya, seperti siput bermata besar yang bertugas mengawasi tikus pintar. "Keong sak kenong matane. Tikus-tikus padha ngidung. Kucing gering ingkang njagani".
Bila keadaan di lapangan masih seperti itu, tentu para pihak yang masih ingin beradigang, beradigung, dan beradiguna, akan semakin leluasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H