Kesulitan, sering dipandang sebagai keadaan yang tidak normal. Pikiran ini masih saja gampang goyah. Dalam jangka panjang bergoyang-goyang, tidak pernah tenang. Keadaan yang tidak terjal, malah sering menjadi penyebab kita terjungkal. Seperti "kebentus ing tawang".
Dalam kemudahan, malah banyak yang justru tersurutkan tekadnya. Paradoks memang. Tekad itu mungkin membesar manakala disemaikan di lahan yang sangat gersang. Penglihatan lebih tajam. Sangat paham, mana : ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Kesulitan membuat pikiran bertambah dalam. Petaka, malah mungkin berubah menjadi berkah.
Ketidakmampuan sering disembunyikan. Apalagi jika ada motif tersembunyi, untuk menutup rapat hal itu.
Pencitraan itu membutakan. Â Mereka sering lupa, dikira tidak ada lagi yang masih berakal sehat. Sepintar-pintarnya orang melakukan pembohongan, tak akan pernah mulus hingga ke batas akhir.Â
Abnormalitas adalah cacat, keanehan, keganjilan, atau ketidaknormalan.Â
Dari sisi pandang pembawa nilai normal, hal itu menjadi salah satu penyebab ketidaksukaan atau dijadikan objek dari kepentingan tertentu. Jelek atau tidak baik, dapat dijadikan nilai negatif, malah sering dianggap sama sekali tidak bernilai.
Di dalam praktik, otoritas penentu kategori normal, malah sering diambil alih oleh para pihak yang justru tidak kompeten sama sekali. Apalagi kalau sudah terbentuk kubu-kubu yang berlawanan serta terbiasa dengan penjungkirbalikan makna. Normal dikatakan abnormal, sedangkan abnormal dikatakan normal.
Hanya waktulah, yang nanti akan menjawab tentang paradoks keabnormalitasan. Kelemahan atau keburukan, akan tersingkap pelan-pelan : "Lawas-lawas kawongan godhong".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H