Berpenampilan jelek, pasti ada sisi baiknya. Paras jelek sering dijadikan bulan-bulanan di kalangan penghobi bullying. Banyak yang merasa ganteng atau cantik, sebatas pada dempulan phisik.
Dunia itu paradoks. Kalau orang berwajah jelek itu mengotori dunia, mestinya sejak dulu sudah disisihkan oleh alam. Tapi, ternyata masih lestari hingga kini. Ungkapan bahasa Jawa berikut, jadi buktinya : "Kere munggah bale, Petruk dadi ratu, dan bathok bolu isi madu".
Tempurung kelapa atau bathok bolu adalah limbah yang tidak berharga. Tetapi jika dipenuhi madu, tentu mengubah penilaian terhadapnya. Ejekan menghilang. Lalu mulailah disampaikan ungkapan lain, yaitu : "Giri lusi jalma tan kena kinira". Jangan pernah meremehkan orang, semata-mata hanya dari penampilan fisiknya.
Contoh lain : "Aja dumeh". Jangan berperangai sok. Karena merasa lebih tampan, lalu merendahkan yang tidak tampan.
Semar dan Togog dalam pewayangan penampilannya sangat amburadul. Profesinya hanyalah batur. Tapi, sejatinya mereka adalah dewa. Untuk mengasuh para ksatria agar tidak sombong wataknya.
Semar bermata merah, rembes berair. Berhidung mini, seperti umbi seledri. Jambul rambutnya putih, berpantat besar. Megal-megol, seperti angsa sedang berjalan.
Togog, bermata juling. Hidung pesek, bibir melar memanjang. Kepala botak, giginya ompong.
Mereka memang berpenampilan jelek. Tapi sebagai dewa, ia bertanggung jawab terhadap pelestarian tabiat ksatria di dunia.
Hidup itu tidak hanya ditentukan oleh sosok penampilan. Jika wataknya buruk, otaknya kosong, pada hakikatnya tak jauh seperti benda pajangan. Konon, nilai seseorang itu lebih ditentukan oleh mutu jiwanya. "Mens cujusque id est quisque".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H