Citra dan cinta itu bersaudara. Cinta selalu berhimpitan dengan citra. Bagi orang per orang, tentu kasusnya berbeda. Karena perasaan membahagiakan dan mengecewakan, khas sangat membekas. Bila kecewa, hati ini pun terasa penuh ampas.
Sejak lama, busana berfungsi sebagai pemanis citra. "Ajining raga, gumantung saka busana". Penghargaan terhadap citra orang per orang, sedikit banyak dipengaruhi oleh bungkus luarnya. Hingga sihir gebyar dalam berpenampilan, tak lekang oleh zaman.
Pada awal musim jatuh cinta, kesendirian mulai ditinggalkan. Awalnya sih masih tersisa ketulusan, dan terbiasa berpenampilan apa adanya. Tapi begitu berinteraksi sosial dalam belantara percintaan, mulailah berlangsung proses kemunafikan. Belajar untuk tampil berpura-pura. Sering tidak konsisten, dan hipokrit.
Agar sukses berpura-pura, membutuhkan keberanian dan pembiayaan. Banyak selebriti dan yang lain mengaku berkali-kali melakukan operasi plastik. Yang kendor dikencangkan, yang kencang dikendorkan. Seharum parfum, tapi ketika dicium kok masih membayangkan aroma ember yang terbuat dari plastik juga.
Dalam khasanah filsafat, cinta itu rumit. Ada sisi pemenuhan kebutuhan dasar, seperti makhluk hidup pada umumnya. Ada kebutuhan sosial, bahkan hingga membantu pencapaian aktualisasi diri. Dalam bahasa Yunani, lalu dipilah-pilah menjadi : philia, eros, dan agape.
Gebyar dalam berpenampilan, kita maklumi saja. Tetapi juga perlu waspada, bahwa kalau hanya mementingkan penampilan luar semata, kurang patut saja :"Nimium ne crede colori".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H