Mohon tunggu...
Bambang Irwanto Soeripto
Bambang Irwanto Soeripto Mohon Tunggu... Penulis freelance - Penulis cerita anak, blogger, suka jalan-jalan, suka wisata kuliner, berbagi cerita dan ceria

Bercerita yang ringan-ringan saja, dan semoga membawa manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Impian Menghabiskan Masa Pensiun di Desa, Tak Seindah Kenyataan

17 Oktober 2022   09:56 Diperbarui: 17 Oktober 2022   21:20 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tinggal di desa| Dok Pixabay/Peggy_Marco via Kompas.com

Saya sering membaca atau mendengar, banyak orang yang ingin menghabiskan masa pensiun atau masa tuanya di desa. Bisa dekat dengan keluarga, bisa menghirup udara bersih, bisa fokus beribadah, dan lain-lain.

Itu juga termasuk impian bapak saya. Saat pensiun dari Angkatan Darat tahun 1995, beliau sudah mengadang-gadangkan pada seisi rumah, kalau akan pindah ke kampung halamannya di sebuah desa di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Apalagi, nenek saya (ibu bapak saya) masih hidup. Bapak saya juga ada warisan sebidang tanah.

Sebenarnya, ibu saya kurang setuju untuk pindah. Alasannya, karena kami sekeluarga sudah merasa nyaman di Makassar (dulu Ujung Pandang). Selama berpuluh tahun, orangtua saya sudah di Makassar. Bahkan saya dan keempat saudara saya, semua lahir di sana. Rumah juga sudah sangat nyaman, berada di tengah kota.

Namun begitulah, keegoisan bapak saya mengalah semuanya. Senjatanya adalah dia yang membangun rumah di Makassar. Jadi dia berhak menentukan. Lagipula, dia dekat ibu dan saudaranya. Biar bisa saling bantu. Terus ditambah, ucapan, "Saya mau mati di kampung sendiri kok!" 

Foto: Desain Canva
Foto: Desain Canva

Pindah ke Kampung Halaman

Setelah menunggu waktu yang lumayan lama, akhirnya rumah di Makassar terjual di tahun 2003. Itu juga sangat murah di bawah standar. Sebabnya, karena bapak saya mau buru-buru pindah. Padahal kalau sabar menunggu, bisa dapat harga yang sesuai. 

Proses pindahnya juga sangat dadakan. Tiba-tiba bapak saya mengabari saya, agar nanti jemput di bandara Soekarno Hatta tanggal sekian, jam sekian. Tentu saja, saya kaget. Soalnya tahun 1998, saya memang sudah merantau ke Jakarta.

Akhirnya bapak saya pindah ke kampung. Begitu saya jemput di Jakarta, dua hari , saya langsung diajak ke kampung, karena kontainer barang dari Makassar sudah sampai di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Dua hari kemudian, kontainer pun tiba di kampung bapak saya.

Bapak saya benar-benar bergerak cepat. Begitu sampai kampung, langsung diskusi dengan ibunya dan saudara-saudara. Besoknya langsung ukur tanah, sorenya sudah datang bahan-bahan bangunan. 

Bapak saya seolah-olah kesirep mau cepat mewujudkan rumah impiannya. orang-orang sih pada memuji. Bapak saya semakin tersanjung hehehe.

Tak Seindah Mimpi

Dibangun akhir Desember 2003, rumah impian bapak saya selesai Januari 2004. Lumayan cepat, karena dikerjakan 25 orang. Pujian pun berdatangan. Bapak saya (mungkin) jadi besar kepala hehehe. Apalagi rumahnya paling baru di daerah situ. Bapak dan ibu saya pun kemudian menempati rumah itu, sementara saya bersama saudara masih di Jakarta.

Kehidupan di rumah impian di kampung pun mulai berjalan. Sebulan semua lancar dan berjalan manis. Dua bulan kemudian, masalah mulai berdatangan. Misalnya saat bapak saya mau membuat kamar mandi, harus bertentangan dulu dengan nenek saya. Katanya, buat apa bikin kamar mandi, habis-habisin uang. Tinggal numpang saja di rumahnya hehehe.

Masalah lain misalnya, saat bapak saya mau buat sertifikat tanah. Ada salah satu iparnya yang menentang. katanya tidak percaya sama saudara. Katanya tidak bakalan ada yang mau ambil warisan itu. Ya, namanya beli emas satu gram saja ada suratnya, beli motor ada suratnya, masa rumah tidak ada sertifikatnya.

Dan memang, masalah setifikat ini urusannya ruwet. Bahkan setelah bapak saya meninggal. Saat saya dan saudara ingin urus sertifikat, tetap ditentang nenek saya dan juga saudara bapak saya, termasuk suaminya. Katanya nanti digadaikan dan sebagainya hehehe.

Terus kendala lain, bapak saya itu dulu di bagian ZENI Angkatan Darat, jadi kebanyakan di lapangan dan ke luar daerah. Dengan tinggal di kampung, otomatis berbeda aktivitasnya. Bapak saya dulu tugasnya tender dan mengawasi bangunan. Bapak saya tidak bisa bertani atau berkebun. Jadi lebih banyak bengongnya.

Bapak Saya Sakit

Seiring banyaknya masalah dan aktivitas yang tidak sesuai, maka tahun 2007, bapak saya mulai ambruk. Diawali saat entah kenapa daya ingatnya berkurang dan sering lupa. Akhirnya kena stroke ringan. Saya pun terpaksa harus keluar kerja dan ulang kampung untuk merawat bapak saya.

Namun kondisi di kampung tidak mendukung. Teori bapak saya dulu, kalau dekat keluarga itu enak, apa-apa enak, tidak terbukti. Kenyataannya, saat bapak saya sakit, saya sekeluarga yang mengurusnya.

Kemudian ditambah sebelah rumah itu kosong. Nah, kepala desa saat itu menggunakan untuk latihan musik tradisional malam harinya. terus siangnya dipakai anaknya untuk latihan band. Semakin tidak nyamanlah. Giliran ibu saya menyampaikan, malah tidak terima. Ada yang melempar rumah saya pada malam harinya.

Akhirnya, saya pun membawa bapak saya untuk berobat dan tinggal di Jakarta. Saya dan saudara-saudara berusaha merawat bapak saya. Sampai akhirnya 19 Januari 2008, bapak saya meninggal di pangkuan saya.

Tips Sebelum Memutuskan Tinggal di Kampung

Dari cerita bapak saya ini, saya jadi mengambil kesimpulan, kalau impian itu, terkadang tidak sesuai keinginan. Jadi memang sebelum memutuskan hidup pensiun di kampung, mungkin bisa diperhatikan hal-hal berikut ini. Tentu saja, ini saya susun berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi saya.

1. Pilih Tempat yang Sesuai

Bila teman-teman memutuskan menghabiskan masa pensiun atau masa tua di kampung, maka langkah pertama sesuaikan dulu tampat. Berdasarkan pengalaman saya, bisa pilih tinggal di kampung halaman, tapi tidak berdekatan dengan saudara. 

Karena pengalaman bapak saya, tinggal dekat orangtua dan saudara-saudara atau misalnya satu rumpun, itu malah banyak masalah. Serba tidak, apa-apa harus berdebat dan sebagainya.

2. Sesuaikan dengan Kehidupan Sebelumnya

Setelah menemukan tempat tinggal yang sesuai, maka perhatikan juga dengan kehidupan sebelumnya. Apa di lingkungan baru, aktivitas kita sebelumnya bisa tetap berlanjut, sehingga tidak akan jenuh. Atau bisa saja, sudah mempersiapkan aktivitas baru di lingkungan yang baru.

Itu dia cerita saya. Sekali lagi, ini hanya sekadar berbagi pengalaman, ya. Karena saya rasa, ini berkaitan juga dengan kesehatan mental. Alam pedesaan memang indah, tapi terkadang lingkungan kurang mendukung. Akhirnya mental bisa diserang seperti yang dialami bapak saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun