Mohon tunggu...
Bambang PujoLegowo
Bambang PujoLegowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sehat

Bio

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Liberalisasi Pendidikan: Jawaban atau Hambatan dalam Menghadapi Era Bonus Demografi?

15 November 2022   09:48 Diperbarui: 15 November 2022   09:57 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan data Sensus Penduduk pertengahan tahun 2021, Indonesia memiliki jumlah penduduk Indonesia mencapai 272 juta jiwa dimana menempati posisi keempat setelah Amerika Serikat. Peningkatan jumlah kelahiran terjadi pada tahun 2000-2010 dengan penambahan jumlah bayi sebanyak 3-4 juta. Diperkirakan kedepannya dari tahun 2020-2039 akan terjadi peningkatan jumlah penduduk dengan usia produktif atau usia angkatan kerja yang berumur 15-16 tahun.

Indonesia diprediksi akan mengalami Bonus Demografi di tahun 2020-2030, puncaknya sendiri pada tahun 2030. Bonus Demografi sendiri merupakan kondisi di mana penduduk dengan usia produktif (15-64) jumlahnya lebih besar dibandingkan penduduk usia non-produktif (anak-anak dan lansia). Keuntungan lainnya adalah menurunya tingkat fertilitas, maksudnya adalah dimana para wanita usia produktif akan lebih banyak fokus di sektor pekerjaan dibandingkan reporoduksi. Hal ini akan berdampak pada kesejahteraan rumah tangga karena pemasukan bukan hanya dari kepala keluarga tapi juga dari istri. Pertumbuhan penduduk berdasar pada komposisi umur bisa menjadi modal yang baik bagi Indonesia untuk menghadapi era Bonus Demografi.

Melimpahnya jumlah usia produktif yang digadang-gadang sebagai potensi mencapai kesejahteraan, jangan sampai berbalik 180 menjadi bencana demografi. Sebuah kondisi dimana tidak bermanfaatnya SDM produktif karena tidak adanya alokasi dan sarana lapangan pekerjaan untuk menampung tenaga dan peran penduduk usia produktif. Untuk meraih keuntungan bonus demografi, ada empat prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, penduduk usia muda yang meledak jumlahnya itu harus mempunyai pekerjaan produktif dan bisa menabung. Kedua, tabungan rumah tangga dapat diinvestasikan untuk menciptakan lapangan kerja produktif. Ketiga, ada investasi untuk meningkatkan modal manusia agar dapat memanfaatkan momentum jendela peluang yang akan datang. Keempat, menciptakan lingkungan yang memungkinkan perempuan masuk pasar kerja (Srihadi dalam Ferdiansyah, 2013).

Pendidikan sebagai jalan utama untuk menciptakan produktivitas pada sumber daya modal sehingga dengan orang yang berkualitas akan melahirkan manfaat bagi sesama. Oleh karena itu, perlu menjadi perhatian bagi pemrintah untuk menjamin ketersediaan pendidikan bagi setiap penduduknya. Bisa dibayangkan apabila era bonus demografi diisi oleh usia produktif dengan pendidikan rendah, bukan tidak mungkin penduduk yang diharapkan ini justru menjadi beban negara.

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sebuah negara, beberapa negara di dunia mewajibkan masyarakatnya untuk menempuh pendidikan. Indonesia menjadi salah satu negara yang mewajibkan masyarakatnya untuk menempuh pendidikan serta memberikan hak kepada masyarakatnya untuk memperoleh pendidikan. Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1, bahwa "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".

Akan tetapi, di sisi lain pendidikan menjadi hak dasar setiap warga negara ini terasa semakin sulit diakses diakibatkan adanya liberalisasi pendidikan. Liberalisasi pendidikan di Indonesia awal mulanya berasal dari perjanjian antara Indonesia dengan organisasi World Trade Organization (WTO) dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) yang dalam salah satu isinya menegaskan bahwa pendidikan tinggi merupakan salah satu produk jasa yang bisa diperdagangkan. Tentu saja perjanjian ini wajib dijalankan oleh Negara Indonesia, karena Indonesia merupakan salah satu anggota World Trade Organization (WTO) yang sudah di ratifikasi melalui UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) dan jika persetujuan tersebut tidak dijalankan, maka Indonesia dapat dikenakan konsekuensi hukum.

Untuk menciptakan nilai tambah bagi perdagangan jasa, liberalisasi pendidikan tinggi dianggap sebagai salah satu cara agar sektor pendidikan dapat memberi keuntungan negara. Selain itu, dengan liberalisasi, setidaknya perguruan tinggi diharapkan memiliki kemampuan dan kualitas yang memenuhi persyaratan pasar yang ada, salah satunya adalah produksi tenaga kerja yang memenuhi kebutuhan pasar. Liberalisasi pendidikan tinggi dipandang sebagai salah satu upaya percepatan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui kemudahan arus perdagangan jasa pendidikan.

Akan tetapi, masuknya sektor pendidikan ke dalam arus liberalisasi justru merubah marwah dari pendidikan yang awalnya adalah untuk memanusiakan manusia, tapi kini berubah pada orientasi pasar yang meninginkan keuntungan semata. Di bidang pendidikan, istilah liberalisasi hangat diperbincangkan ketika pemerintah memberikan banyak kebebasan kepada setiap Perguruan Tinggi Negeri untuk mengatur "rumah tangganya" sendiri, sehingga terkesan "lepas tangan" atau lebih tepat melepaskan tanggungjawab menyelenggarakan pendidikan, seperti diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31. Hal ini ditandai ketika swasta yang masuk dalam penyelenggaraan pendidikan mulai menggandeng pemilik modal besar (kapital) untuk mendirikan sekolah-sekolah atau perguruan tinggi bagi kelas atas.

Otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi bukan tidak mungkin akan menciptakan kesewenang-wenangan kampus dalam bertindak, seperti meningkatkan biaya kuliah, mematikan demokrasi kampus dan bahkan kurikulum pengajaran yang disesuaikan dengan kehendak pasar (tenaga kerja). Dampak lain dari liberalisasi pendidikan yakni tidak meratanya pendistribusian pendidikan khususnya perguruan tinggi, pendidikan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berpenghasilan tinggi.

Sebagai gambaran, menurut data BPS pada tahun 2020 tantangan dalam pembangunan pendidikan Indonesia adalah tingginya persentase Anak Tidak Sekolah (ATS). Penanganan ATS telah menjadi Strategi Nasional dengan fokus pada kelompok umur 7-18 tahun. Persentase ATS tertinggi berada di kelompok umur 16-18 tahun, dimana dari 100 anak berumur 16-18 tahun, 22 di antaranya tidak bersekolah. Tingkat pendidikan penduduk Indonesia didominasi oleh pendidikan menengah. Dari 100 penduduk usia 15 tahun ke atas, 29 orang telah menamatkan SM/sederajat dan hanya 9 orang yang menamatkan Perguruan Tinggi (PT).

Liberalisasi pendidikan yang digadang-gadang sebagai bentuk persiapan menyambut bonus demografi jangan sampai menjadi boomerang bagi Indonesia sendiri, karena dengan semakin mahalnya pendidikan otomatis semakin sedikit masyarakat yang bisa mengaksesnya. Pelepasan tanggungjawab negara, terutama jika melihat pengalaman beberapa Perguruan Tinggi BHMN, seperti UI, UGM, IPB, ITB, UNAIR, USU, dan UPI, yang semakin mahal dan semakin sulit terjangkau oleh kalangan miskin, yang seharusnya mendapatkan perhatian pemerintah (Nur, 2005).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun