Matahari pagi mulai menyeruak, cahayanya berkilauan menembus fentilasi celah-celah jendela di sebuah bangsal rumah sakit. Sinarnya yang terang, tidak menggambarkan cahaya pada wajah beberapa orang yang ada di dalamnya. Wewet masih terbaring lesu. Sudah dua hari, ia terkapar di rumah sakit. Belum ada keterangan jelas dari dokter, tentang penyakitnya. keluarganya, lelah menanti dan senantiasa setia di sampinya. Mak Riri dan Kakak semata wayangnya, Ohtrie yang hanya sesekali berada di dekatnya, karena harus menarik becak.
Menurut suster yang kerap memeriksanya, pagi ini baru ada keputusan tentang penyakit yang diderita oleh Wewet. Hanya tinggal menunggu dokter yang akan datang pukul sembilan pagi. Emak Riri senantiasa berada di sampinya. Tak kenal lelah, mendampingi anak perempuan kecilnya.
****
Jam sepuluh pagi, Ohtrie datang tergopoh-gopoh membawa bungkusan sarapan pagi untuk emaknya. Juga termos air panas serta baju ganti untuk emak dan adiknya. Tak lupa diciumnya punggung tangan ibu dan kening adiknya.
"Jadi, apa kata Pak Dokter, Mak? Kapan adik boleh pulang?" Tanyanya.
"Duduklah dulu. Kamu sudah makan?"
"Sudah, Mak. Emak makanlah dulu..." Ohtrie mengangsurkan bungkusan nasi yang dibawa kepada emaknya.
Emak Riri perlahan mengunyah nasi yang dibawa anaknya. Tatapan matanya kosong, terasa berat jiwanya diruntun lara, mengetahui penyakit anaknya, juga biaya yang diperlukan untuk biaya operasi.
"Adikmu terkena usus buntu. Katanya harus dioperasi, Trie." Mak Riri berujar pelan, titik-titik embun menetes di pipi keriputnya. Wajah tuanya tampak begitu lelah. Diusapnya rambut Wewet yang tertidur lemah. Sesekali terdengar rintihan kesakitan dari putri semata wayangnya itu. ia urung menyelesaikan makan paginya.
"Makanlah dulu, Mak. Nanti Emak pula yang sakit," Ohtrie menenangkan Emaknya. "Tak mengapa kalau harus dioperasi juga, Mak. Yang penting adik sembuh."
"Uang emak tak cukup, Nak...," Suara emak Riri menggantung. "Biaya operasi, membutuhkan tiga juta rupiah." Emak Riri mulai terisak, penuh sesak.
"Mak, Insya Allah ada rizki buat kita, Mak. Mak tenang saja, masih ada sedikit tabunganku, hasil dari ngelenong selain ngebecak tiap harinya," Ohtrie menghibur emaknya. Ia memahami betul perasaan emaknya, yang hanya seorang buruh cuci pakaian di sekitar perumahan tempat mereka tinggal.
Emak Riri menatap kedua anaknya bergantian. Sendu wajahnya, berubah sedikit cerah, melihat semangat anak lelakinya.
***
Mereka, keluarga kecil sederhana, yang terdampar di pinggiran kota Jakarta. dari tanah jawa mereka berasal, sudah hampir sepuluh tahun, mereka tinggal di Jakarta. Sejak usia Wewet dua tahun. Kini, Wewet sudah berusia dua belas tahun, remaja tanggung itu tidak dapat meneruskan sekolahnya, karena tidak ada biaya. Sementara emaknya menjadi buruh cuci di beberapa rumah gedong terdekat. Sedang Ohtrie sendiri, bekerja menrik becak ketika siang hari dan ikut bermain lenong keliling, dengan haji Luqman. Suami Mak Riri meninggal, ketika Wewet berusia lima tahun, terkena penyakit asma.
Ohtrie termangu di depan pintu rumah kontrakan kecilnya. Hatinya bimbang, sedang uang yang ada di tangannya, tak sampai satu juta rupiah. Ia memikirkan, bagaimana caranya memenuhi tiga juta rupiah seperti yang diucapkan emaknya pagi tadi di rumah sakit. Berbagai cara ia pikirkan, termasuk menjual becaknya. Tapi, apa ia akan laku? Kalaupun laku, apa pula yang akan dikerjakannya nanti?
Ah, kadang Ohtrie berpikir, kenapa Tuhan tak menjadikannya orang kaya saja...???
***
Seminggu berlalu. melalui operasi yang sedikit rumit, alhamdulilah, adiknya kini diperbolehkan pulang. Tidak seperti yang dikhawatirkannya, dengan mudah, ia dan emaknya memperolehi uang sebesar tiga juta seperti yang dibutuhkannya. Beberapa hari sebelum adiknya operasi, tetangga-tetangga di dekat rumah kontrakan mengunjunginya, termasuklah Bu Arie, ketua RT gank Delima. Mereka tak hanya datang memberikan doa dan semangat tapi juga bantuan materi. Ohtrie dan emaknya merasa sangat beruntung sekali. Meskipun tak sebanyak yang diperlukan, tapi ia sudah sangat meringankan beban.
Herannya, dari mana emaknya memprolehi uang tambahan lainnya?
***
Ohtrie berpikir keras “ Emak darimana ya mendapat tambahan satu setengah juta itu?” Padahal penghasilan Emaknya sangat pas-pasan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun masih harus nombok dengan dirinya. Ketika ditanyapun, emaknya seolah enggan menjawab, hanya senyuman yang terulas dibibir Mak Riri. Berhari-hari relung pikiran Ohtrie dipenuhi rasa penasaran, yang kian membuncah dan susah untuk ditahan lagi.