Istriku, duduklah sebentar di sampingku. Merapatlah sejenak bersamaku. Aku akan mengisahkan beberapa cerita. Cerita tentang gundah hari-hariku. Tentang hujan di bulan Desember. Tentang jelaga yang tak juga di hilangkan dari pundak kaummu. Tentang lampu jalan yang tak juga terang. Seolah-olah zaman tak mengikis habis cemoreng hitam yang dituliskan tentangmu. Seolah-olah beban kehidupan telah menjadi takdir untuk dipikul oleh kaummu.
Aku ingat pertama kali saat kita bertemu, Istriku. Kau katakan padaku bahwa kau akan tetap melakukan pekerjaan-pekerjaanmu. Mengajarkan kaummu pada kearifan hidup. Mengajarkan kaummu agar berdiri tegak bersandar pada kesadaran. Aku mendukung penuh niatmu waktu itu. Karena aku teringat kawanmu yang bernama Kartini. Ia tentu saja lahir lebih dulu darimu. Dan ia juga yang membuka matahari bagi kaummu dari sebuah kantor milik suaminya di Jepara lebih dari seabad yang lalu. Aku terbayang surat yang ia kirimkan kepada sahabatnya, Nyonya Van Kool pada tahun 1901; “alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya”.
Aku tahu bahwa Kartini sedang menuliskan gundah, Istriku. Gundah karena rakyat di negerinya begitu bodohnya sehingga mengagungkan pangkat, gelar dan kedudukan. Bukan kecerdasan, cinta dan kehormatan. Makanya, ia menuliskan surat pada Estelle Zeehandelaar pada 25 Mei 1899 dengan kalimat lugas; “panggil aku Kartini saja. Itulah namaku”. Ia tak ingin di panggil dengan gelar ningratnya. Cukup “Kartini” saja. Dan Pramoedya menjadikan kalimat itu menjadi judul buku untuk mengabadikan gundah Kartini.
Aku mencoba belajar menelisik jiwa Kartini kawanmu itu, Istriku. Dan aku menemukannya; bahwa ternyata gelar-gelar itu memberikan jarak pada rakyat di negerinya. Bahwa ternyata gelar-gelar itu memberikan ketidakadilan akses pada banyak manusia. Sikap Kartini itu tentu saja berbanding terbalik dengan kondisi banyak kaummu sekarang ini. Kini banyak dari kaummu justru memuja status sosial begitu tinggi, lalu mendefinisikannya dengan banyak hal; pakaian, perhiasan, pergaulan; sosialita. Duh, betapa masygulnya.
Oh ya, Istriku. Kartini juga menceritakan tentang gundahnya yang lain. Gundah jiwa yang suaranya masih menggema hingga kini. Pada ruang-ruang sidang; pada ruang-ruang publik; pada pekerjaan. Keluhannya yang bernama “emansipasi”. Aku mencoba memahami jalan pikiran Kartini waktu itu, Istriku. Dan ia, kukira, sedang menegaskan bahwa sudah saatnya kaummu mendapatkan kesetaraan untuk menentukan masa depan kaummu. Agar kaummu tak hanya menjadi pemanis di ruang-ruang pengambil keputusan. Agar kaummu tak hanya menjadi alat legitimasi keterwakilan. Ah, aku tentu saja jadi teringat “Iron Jawed Angels”. Sebuah film yang diambil dari kisah nyata dan berkisah tentang perempuan-perempuan Amerika yang ingin mendapatkan hak politiknya. Dipimpin oleh Alice Paul dan Lucy Burns, wanita-wanita Amerika itu berjuang agar mereka bebas memilih wakilnya untuk duduk di pemerintahan.
Ohya, kau tahu Istriku?. Kisah nyata mereka sejaman dengan Kartini. Tapi tentu saja situasinya berbeda. Kaummu saat itu baru belajar membebaskan rantai kaki, sedangkan wanita Amerika pada saat itu sudah belajar berdemonstrasi. Tapi kini situasi sudah banyak berubah. Negeri kita telah memiliki banyak wakil dari kaummu yang bisa menentukan banyak kebijakan atas nasib bangsa ini, terutama nasib kaummu. Walaupun berita terakhir, kaummu yang duduk di parlemen saat ini, ternyata juga belum mampu bersuara lantang atas diskriminasi yang terjadi.
Aku jadi ingin menuliskan kembali rilis Perserikatan Bangsa Bangsa lebih dari sepuluh tahun yang lalu;
“setengah dari umat manusia adalah perempuan, dua pertiga dari pekerjaan di dunia di lakukan oleh perempuan, sepersepuluh dari pendapatan yang di hasilkan di dunia dihasilkan oleh perempuan, dan seperseratus dari kepemilikan tanah dan rumah di kuasai perempuan”.
Kau tahu kenapa kebanyakan tenaga kerja justru diisi oleh kaummu, Istriku?. Karena dunia beranggapan bahwa mereka ulet, teliti dan tekun tapi mau dibayar murah. Kau tahu, kenapa pembantu rumah tangga diisi oleh perempuan?. Karena stereotip yang salah bahwa urusan rumah tangga adalah urusan kaummu. Kau tahu, kenapa penjualan manusia hampir semua korbannya kaummu?. Karena kaummu makhluk yang dianggap bisa memuaskan hasrat dan perilaku bejat dunia. Bukan laki-laki.
Aku jadi teringat “Ronggeng Dukuh Paruk”, novel yang berkisah tentang kaummu. Novel yang berkisah tentang Srintil yang dinistakan karena politik dan situasi jaman. Kisah tentang penari ronggeng yang dianggap hina lalu menjadi tahanan politik karena kesewenangan penguasa. Sama jahatnya kebanyakan penguasa sekarang ini yang membiarkan lokalisasi dan tempat hiburan berdiri; karena di samping bisa menyediakan penghibur bagi kolega penguasa, kaummu juga bisa menjadi sumber pendapatan sampingan untuk menggemukkan para pejabat itu.
Istrku, aku yakin, sebagian kaummu sedang dipelihara dan di nistakan. Untuk kepentingan politik; untuk kepentingan ekonomi; untuk kepentingan nafsu. Tapi mirisnya, sekarang banyak dari wanita muda kaummu yang begitu rela untuk menjadi penghibur dan istri simpanan atau wanita sewaan. Mereka begitu terbutakan oleh gengsi hidup dan merasa bangga jika menjadi istri simpanan pejabat. Atau kudapati, beberapa wanita justru bangga jika bagian tubuhnya di eksplorasi dan dijadikan bahan olok-olokan. Aku tak habis mengerti, Istriku. Benar-benar tak habis mengerti.
Sama tak mengertinya ketika kaummu menjadi korban dari ketidakadilan akses atas tanah keluarga. Di hampir seluruh negaramu, tanah selalu saja menjadi bukti bahwa ketidakadilan gender selalu saja terjadi. Suatu waktu, mataku sembab ketika membaca laporan investigasi tentang ketidakadilan akses pengelolaan tanah yang terangkum dalam buku “Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”. Wanita-wanita suku Arso-Papua mengeluh dalam catatan buku itu; “kami tak bisa melahirkan tanah, kalau bapak-bapak menjual tanah pada perkebunan, anak-anak kami harus tinggal dimana?”. Banyak wanita di negerimu, yang hampir-hampir tidak mempunyai akses atas tanah mereka, karena pemerintah dan kaum lelaki mengambilnya.
Tapi, kurasa bukan hanya tanah, Istriku. Bahkan hampir semua sisi kehidupan. Orang-orang dari tanah tempat Kartini hidup pernah bilang bahwa kaummu itu -bagi laki-laki suaminya- seperti makhluk yang "suargo nunut neroko katut". Kebanyakan laki-laki mengartikan dengan arti mudahnya; ke arah kebaikan dan arah kejahatan, istri selalu ikut serta. Istilah lainnya; istri itu "konco wingking" atau teman yang selalu di belakang dan mengikuti suami pergi; tidak perlu banyak ribut.
Menurutku itu kata mutiara salah tafsir, Istriku. Karena dalam agama yang aku yakini, kaummu mendapatkan kedudukan terhormat, karena jika istri baik dan sholehah, maka tentu saja ia akan membawa suami dan keluarganya ke kebaikan. Kaummu lah yang banyak menentukan benih-benih kebaikan dalam rumah tangga. Makanya Rasulullah yang penyayang kaummu itu, mengistilahkan wanita itu sebagai "tiang negara". Kaummu lah yang menopang kekuatan sebuah negara. Sehingga, begitu berartinya kaummu bagi keluarga dan peradaban, Rasulullah menyebut; "ibumu, ibumu, ibumu" menegaskan tiga kali prioritas penghormatan sebelum laki-laki, untuk menjelaskan betapa berjasanya kaummu.
Dan berjasanya kaummu digambarkan dengan sangat mengharukan ketika Enong harus menghidupi ibu dan adik-adiknya untuk mencari nafkah dengan mencari butir-butir timah di tambang timah bekas yang di tinggalkan oleh perusahaan negara pengelola timah di Belitong dalam buku “Dwilogi Padang Bulan”. Tapi kisahnya terlalu menyedihkan, hingga membuatku kembali sembab, Istriku. Karena kudapati lagi, ternyata kaummu begitu musykil bersanding dengan adil di samping laki-laki dalam mengais rezeki, walaupun dengan alasan sama; demi menafkahi keluarga. Sama musykilnya bermimpi negara ini akan memberikan perlindungan pada wanita tua dan anak-anak terlantar hingga tak kulihat mereka duduk di perempatan jalan menggendong anak bayinya sambil meminta-minta. Dan aku begitu marah lalu melampiaskan gundahku pada malam.
Sudahlah, Istriku. Memang malam masih sangat panjang. Tapi kita harus tetap terjaga. Sama seperti terjaganya Leo Trotsky, sastrawan dan tokoh komunis Rusia yang banyak menulis cerpen tentang wanita itu. Enam bulan sebelum kematiannya ia sempat menulis; "hidup ini indah. Biarkan generasi mendatang membersihkannya dari semua kekejian, penindasan, kekerasan, dan menikmatinya sampai penuh". Aku yakin, Istriku. Leo Trotsky sedang berbicara tentang tugas kita.
Selamat Hari Ibu, Istriku. Aku akan tetap menemanimu di malam yang gelap ini.
22 Desember
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H