Sama tak mengertinya ketika kaummu menjadi korban dari ketidakadilan akses atas tanah keluarga. Di hampir seluruh negaramu, tanah selalu saja menjadi bukti bahwa ketidakadilan gender selalu saja terjadi. Suatu waktu, mataku sembab ketika membaca laporan investigasi tentang ketidakadilan akses pengelolaan tanah yang terangkum dalam buku “Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”. Wanita-wanita suku Arso-Papua mengeluh dalam catatan buku itu; “kami tak bisa melahirkan tanah, kalau bapak-bapak menjual tanah pada perkebunan, anak-anak kami harus tinggal dimana?”. Banyak wanita di negerimu, yang hampir-hampir tidak mempunyai akses atas tanah mereka, karena pemerintah dan kaum lelaki mengambilnya.
Tapi, kurasa bukan hanya tanah, Istriku. Bahkan hampir semua sisi kehidupan. Orang-orang dari tanah tempat Kartini hidup pernah bilang bahwa kaummu itu -bagi laki-laki suaminya- seperti makhluk yang "suargo nunut neroko katut". Kebanyakan laki-laki mengartikan dengan arti mudahnya; ke arah kebaikan dan arah kejahatan, istri selalu ikut serta. Istilah lainnya; istri itu "konco wingking" atau teman yang selalu di belakang dan mengikuti suami pergi; tidak perlu banyak ribut.
Menurutku itu kata mutiara salah tafsir, Istriku. Karena dalam agama yang aku yakini, kaummu mendapatkan kedudukan terhormat, karena jika istri baik dan sholehah, maka tentu saja ia akan membawa suami dan keluarganya ke kebaikan. Kaummu lah yang banyak menentukan benih-benih kebaikan dalam rumah tangga. Makanya Rasulullah yang penyayang kaummu itu, mengistilahkan wanita itu sebagai "tiang negara". Kaummu lah yang menopang kekuatan sebuah negara. Sehingga, begitu berartinya kaummu bagi keluarga dan peradaban, Rasulullah menyebut; "ibumu, ibumu, ibumu" menegaskan tiga kali prioritas penghormatan sebelum laki-laki, untuk menjelaskan betapa berjasanya kaummu.
Dan berjasanya kaummu digambarkan dengan sangat mengharukan ketika Enong harus menghidupi ibu dan adik-adiknya untuk mencari nafkah dengan mencari butir-butir timah di tambang timah bekas yang di tinggalkan oleh perusahaan negara pengelola timah di Belitong dalam buku “Dwilogi Padang Bulan”. Tapi kisahnya terlalu menyedihkan, hingga membuatku kembali sembab, Istriku. Karena kudapati lagi, ternyata kaummu begitu musykil bersanding dengan adil di samping laki-laki dalam mengais rezeki, walaupun dengan alasan sama; demi menafkahi keluarga. Sama musykilnya bermimpi negara ini akan memberikan perlindungan pada wanita tua dan anak-anak terlantar hingga tak kulihat mereka duduk di perempatan jalan menggendong anak bayinya sambil meminta-minta. Dan aku begitu marah lalu melampiaskan gundahku pada malam.
Sudahlah, Istriku. Memang malam masih sangat panjang. Tapi kita harus tetap terjaga. Sama seperti terjaganya Leo Trotsky, sastrawan dan tokoh komunis Rusia yang banyak menulis cerpen tentang wanita itu. Enam bulan sebelum kematiannya ia sempat menulis; "hidup ini indah. Biarkan generasi mendatang membersihkannya dari semua kekejian, penindasan, kekerasan, dan menikmatinya sampai penuh". Aku yakin, Istriku. Leo Trotsky sedang berbicara tentang tugas kita.
Selamat Hari Ibu, Istriku. Aku akan tetap menemanimu di malam yang gelap ini.
22 Desember
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H